“Nda, Mama sama Bapak minta maaf yah. Mama sama Bapak maunya Ninda kuliah dan nanti kerja kantoran. Mama enggak mau Ninda jadi buruh kayak Mama dan Bapak. Mama tahu rasanya jadi buruh pabrik. Mama enggak mau anak Mama merasakan apa yang kami berdua rasakan. Tap, untuk saat ini sejujurnya, Mama enggak sanggup,” terangku seraya terbata-bata menahan tangis yang sudah di tenggorokan. Aku lihat Mas Budi, suamiku tengah mengusap air matanya.
Asap dari bara hasil pembakaran ban beberapa jam lalu masih mengepul menembus gelapnya langit dini hari ini. Massa aksi yang tadinya terkumpul di satu titik, perlahan membentuk kumpulan-kumpulan kecil.
Di depan ban yang terbakar, terlihat puluhan laki-laki berseragam merah mengelilingi api. Mereka mencari kehangatan di tengah dinginnya udara malam ini. Dua orang di sisi lainnya, memetik gitar, sementara yang lain bernyanyi dengan riang gembira.
Di ujung sisi utara, tepat di depan mobil komando berbendera putih biru, puluhan orang asik berjoget sambil diiringi lagu. Seorang biduan bernyanyi lagu dangdut. Aku tak tahu lagu apa yang dia nyanyikan. Tapi, lengkingannya lumayan memekakan telinga. Sementara di sisi pinggir biduan itu, terlihat perempuan-perempuan dengan berbagai warna seragam. Sebagian memasang posisi tubuh terlentang. Ada juga sebagian dari mereka duduk di atas aspal. Ada juga mereka yang tertidur lelap, tidak terganggu suara bising di sekitarnya.
Telepon genggamku menunjukan angka 02:45 WIB. Aku bersama beberapa kawan perempuan bergerak menuju sisi kiri pintu masuk gerbang kantor Gubernur Banten. Kami duduk tanpa alas dan mencoba mengistirahatkan tubuh. Sekedar meluruskan badan setelah hampir empat jam berkendara di atas motor.
Mba Lia asik memainkan gadgetnya. Mba Indri kulihat matanya terpejam. Entah dia tidur atau hanya sekedar mengistirahatkan matanya. Sementara, yang lainnya asik dengan bermain gawainya masing-masing.
Di tengah kesibukanku memindai aktivitas massa aksi, tiba-tiba terdengar entah dari salah satu mobil komando. Suara itu berkata, “Kawan-kawan, tim nego sudah selesai dan diharapkan kawan-kawan berkumpul bersama organisasinya sendiri-sendiri.”
Tidak lama berselang, perintah instruksi kembali diserukan dari masing-masing organisasi “Massa X kumpul di depan Mokom (mobil komando). Massa Y kumpul di depan pos jaga.”
Kawan-kawanku sendiri terlihat sudah berkumpul di depan mobil logistik organisasi kami. Ketika aku tiba di lokasi, terdengar suara Hermawan ketua DPC organisasiku sedang menyampaikan hasil pertemuannya mengenai besaran kenaikan upah.
“Apa 1,64 persen kita cuma naik segitu? Ya Allah Gusti yang bener aja ini … pemerintah kok tega banget sama orang kecil kayak kita.”
“Ini beneran sudah ditandatangani?” sergahku. Aku terkejut karena mendengar besaran kenaikan upah tahun ini.
“Iya sudah ditandatangani. Sudah jadi SK (surat keputusan),” timpal Anisa yang duduk dibelakangku.
“Iya kawan-kawan setelah pertemuan tadi, kami pimpinan-pimpinan organ diskusi menanggapi sikap Gubernur yang sudah menandatangani SK dengan kenaikan jauh di bawah tuntutan kita,” jelas Hermawan.
“Saya mengumpulkan kawan-kawan di sini selain untuk menyampaikan bahwa SK Upah 2024 sudah turun, saya juga mau menyampaikan sikap kita terkait kelanjutan aksi hari ini. Seperti yang kawan-kawan tahu kita dari jam 07:00 WIB sudah seharian aksi dan sekarang pukul 03:00 WIB tentu kawan-kawan lelah juga ada keluarga di rumah yang menunggu.” lanjutnya
“Mas, bukannya meeting kemarin jelas disampaikan kalau aksi kita hari ini total. Kalau kenaikannya tidak sesuai tuntutan, maka akan dudukin dan nginep disini?” sergah Dani sebelum Hermawan selesai bicara. Dani adalah salah seorang perwakilan anggota dari massa aksi.
Seperti yang disampaikan Dani dua hari lalu, sebelum aksi, dalam rapat teknis lapangan, kami biasa menyebutnya Teklap. Kesepakatan saat Teklap, aksi tanggal 29 November 2023 all out. Kami bersepakat akan menginap di depan kantor Gubernur, entah apapun kondisinya.
“Saya paham kawan-kawan. Tapi, saat ini banyak kawan kita dari organ lain yang memutuskan untuk ‘balik kanan’. Kita tidak mungkin bertahan dengan massa yang sedikit. Perlu kawan-kawan pahami, UMK yang ditandatangani oleh Gubernur ini bagi buruh yang baru bekerja alias nol tahun. Kita masih ada PR (pekerjaan rumah) untuk perjuangan upah di pabrik masing-masing,” jelas Hermawan.
“Itu tidak boleh kita abaikan. Kenaikan upah untuk buruh-buruh di atas masa kerja satu tahun seperti kita ini. Jadi kita simpan energi kita untuk perjuangan di pabrik,” imbuh Herwaman dengan nada suara yang berapi-api Hermawan. Ia hendak memastikan kami yang mencoba untuk terus bertahan untuk pulang.
Sekitar pukul 6:30 WIB, aku telah tibah rumah. Rasa capek dan ngantuk bercampur dengan kekecewaan yang begitu besar. Aku kecewa dengan kenaikan upah tahun 2024 yang hanya sebesar Rp 62.000. Juga aku kecewa dengan pimpinan-pimpinan organisasi serikat buruh yang tidak konsisten pada rencana awal aksi: bermalam di depan kantor Gubernur hingga menunggu diusir.
Aku yakin, perasaan kecewa ini bukan hanya milikku sendiri. Kawan-kawan lain yang juga hadir dan mengikuti Teklap juga pasti merasakan hal yang sama; kecewa.
Rasa geram ku bukan hanya kali ini. Beberapa kejadian sebelumnya juga telah ada, seperti tuntutan kenaikan upah yang berawal dengan besaran 15 persen lalu di hari terakhir Gubernur harus mengeluarkan SK, tuntutan berubah menjadi 10 persen. Sementara, kami massa anggota tidak paham apa alasan dari perubahan itu .
Dua hari. Lalu tiga hari berlalu. Hingga satu minggu sudah terlewati. Aku tidak mendapatkan undangan dari pengurus tentang kelanjutan perjuangan upah. Tidak ada juga penjelasan resmi kenapa aksi tanggal 29 November 2023 saat itu dibubarkan.
Semua berjalan seperti biasa. Seakan-akan lupa, bahwa seminggu yang lalu, kami baru saja aksi hingga dini hari. Seolah lupa, bahwa kenaikan upah 2024 hanya sebesar Rp 72.000.
“Tapi ini tidak kali ini saja. Setiap tahun juga begini. Aksi all out, kalau Gubernur tidak kabulkan tuntutan kita, ya duduki kantor Gubernur. Eh omdo (omong doang) ujung-ujungnya. Kita pulang dengan kekalahan,” ujar Bejo sesama teman perwakilan anggota, ketika kami ngobrol-ngobrol di warung sepulang kerja.
“Udah-udah kita berpikir positif aja, mending kita siapkan energi buat perjuangan di pabrik. Kali-kali perjuangan upah sekarang sampe mogok. Dah tiga tahun kita kalah telak, sampe enggak naik upah dua tahun lalu kita diam.
“Sekarang Rp 72.000 say. Harga beras udah Rp 16.000 sekilo man-teman. Sudah waktunya kita edankeun, gaslah,” timpalku dengan maksud memberi semangat kepada teman-teman yang sepertinya agak kendor.
Sejujurnya aku pun ragu dengan apa yang aku katakan.
Laila namaku, aku buruh di salah satu pabrik garmen yang membuat pakaian ternama internasional di Kota S. Suamiku bekerja sebagai satpam dengan status kontrak di salah satu perkantoran. Anakku, dua orang yang pertama adalah perempuan. Saat ini sedang berkuliah dan memasuki tahun pertama. Sedangkan, anak keduaku kelas sebelas di salah satu sekolah kejuruan atau SMK.
Diusiaku yang sudah memasuki kepala empat aku masih aktif berorganisasi di serikat buruh. Aku perwakilan anggota dari lini produksi tempat kerjaku. Aku sudah aktif di serikat sejak tahun 2013. Aku termasuk seorang perintis yang mendirikan organisasi di tempat aku bekerja.
Karena aku adalah perwakilan anggota, teman-teman sekerjaku selalu menanyakan apapun, baik itu soal upah atau kebijakan-kebijakan perburuhan. Hal itu memaksaku untuk terus belajar soal perburuhan dan mencari info-info terbaru yang terjadi.
Seperti halnya kejadian di Jumat siang ini. Biasanya waktu istirahatku 90 menit digunakan untuk tidur siang. Namun, tidak untuk kali ini. Isu kenaikan upah membuat teman-teman merelakan waktu tidur siang digantikan dengan pembahasan mengenai kenaikan upah 2024.
“Hei … bestie … duit Rp 72.000 dapet bakal apa coba? Lah, kita kerja target naik terus, masa upah kagak naik?” ujar Mpok Masnah sambil menyusun bekal makan yang sedang kami bawa menjadi satu tumpukan. Mpok Sapnah adalah salah seorang sesepuh di lini produksi tempatku kerja. Dia juga teman makanku bersama ketika jam istirahat. Ucapannya bermaksud untuk mendorong teman-teman lini produksi lainnya untuk turut memikirkan nasib kenaikan upah 2024.
Biasanya setiap hari Jumat, kami punya tradisi untuk makan bersama. Bekal yang kami bawa dari rumah dibungkus ke dalam kertas nasi. Kemudian, bekal-bekal itu kami gabungkan menjadi satu. Seperti hari ini kami makan berenam. Nasi dijadikan satu di pinggirnya ada sambal. Mpok Sapnah handal dalam membuat sambal. Kami menyebutnya dengan nama sambal ‘hot jeletot’.
Selain sambal, lauk lainnya adalah tumis cumi dan pete. Kedua lauk ini merupakan hasil masakanku tadi pagi. Sementara, Ayu membawa sambal goreng kentang. Ada juga hidangan lainnya, seperti lalapan dan timun ada telor dadar dan dua buah ikan mujair.
Kami sengaja untuk makan bersama demi alasan berhemat. Layaknya aku dari rumah yang hanya membawa bekal nasi dan lauk tumis cumi pete. Mpok Sapnah membawa nasi dan lalapan plus sambal. Begitu juga yang lainnya. Semua hidangan itu kami satukan untuk dimakan bersama.
“Yaelah Mpok Januari kontrakan naik. Minggu lalu Bapak kontrakan udah woro-woro kontrakan naik seratus ribu,” Ayu menimpali.
“Gimana ceritanya coba naik gaji Rp 72.000. Ehalah, kontrakan malah naik Rp 100.000? Ini mah nombok namanya. Gimana nih serikat?“ Lanjutnya Ayu sambil menatap padaku.
“Resolusi 2024 lepas dari hutang pinjo (pinjaman online), padahal bohong … wkakaka,” timpal Rizky sambil ketawa sedih.
Di antara kami berenam, Rizky salah satu teman makanku, sedang terlilit utang pinjol. Rizky mengeluh, “Cita-cita saya mah sekarang enggak muluk-muluk. Gimana caranya lepas dari hutang pinjol. Capek banget shaay ditagih pagi, siang, dan malam. Didatangi debt collector.”
“Gini ibu-ibu cuantik. Kenaikan UMK (Upah Minimum Kabupaten) itu buat yang nol tahun atau buat yang baru masuk kerja. Kalau buat yang di atas satu tahun, kayak kita-kita yang udah bangkotan ini nih, nanti ada bipartit.” Aku mencoba menyampaikan apa yang Mas Hermawan sampaikan pada saat sebelum aksi massa bubar aksi tanggal 29 November 2024 kemarin.
“Bipartit teh apa neng Lela?” tanya mpok Sapnah. Walaupun namaku Laila tetapi teman-teman lebih suka memanggil Lela.
“Bipartit itu perundingan Mpok. Nanti serikat-serikat yang ada di pabrik berunding sama manajemen soal kenaikan upah kita,” ujarku.
“Oh gitu. loh selama ini kan sesama serikat kayak musuhan. Nanti gimana kalau berunding emang bisa akur apa yah?” Ayu yang dari tadi asyik membuat bumbu rujak menimpali.
“Kita doakan saja pimpinan-pimpinan itu mau bareng-bareng dulu demi kita-kita ini. Semoga mereka bisa kompak dan satu suara. Semoga bisa ada kenaikan yang lumayan ya, minimal 10 persen lah,” kataku menjawab kegalauan Ayu.
“Mpok mah kalau kompak semua nih, mau ikut kalau ada demo perjuangin upah,” timpal Mpok Sapnah.
“Iya, aku juga mau. Kompaklah kita ngikut apa kata pengurus.” Timpal suara dari buruh lainnya.
“Kalau bisa jangan ada mogok-mogoklah. Manti malah dipecat gimana coba? Mana sebulan lagi aku cuti,“ ucap Erna. Perempuan bernama Erna itu memang sedang hamil. Usia kandungannya memasuki tujuh bulan.
“Aku bukannya ngak mau ikut demo kawan-kawan. Tahu sendiri aku dikejar-kejar pinjol. Kalau enggak masuk sehari lha terus dipotong gajiku, aku gimana? Kerja full aja duitku abis buat bayar cicilan utang.” Tetiba Indah yang dari tadi sedang asik menikmati sambal Mpok Sapnah bersuara.
Indah dan Rizky, keduanya merupakan teman makanku yang sama-sama sedang terlilit hutang pinjol. yang membedakan Indah terlilit satu pinjol dengan total utang sekitar 12 juta sedangkan Rizky ada tiga pinjol yang setiap bulan mengejarnya. Setahuku hampir 30 juta utang yang harus Rizky bayar.
“Aku kerja aja bingung ngidupin anak satu. Sekarang malah udah mau punya dua anak. Gimana kalau enggak kerja? Mana suamiku diliburkan udah dua minggu, no work no pay,” keluh Erna. Aku melihat beberapa waktu belakangan Erna agak pendiam. Tampak dari raut wajahnya terlihat banyak yang dipikirkan. Mungkin karena persoalan itu.
Suami Erna juga merupakan seorang buruh. Dia bekerja di pabrik sepatu jenama internasional. Pada saat pandemik COVID-19, di pabrik tempat suaminya bekerja, terjadi PHK. Jumlah buruh yang dipecat sekitar 300 orang.
Selain melakukan PHK, pabrik tempat kerja suami Erna juga meliburkan buruhnya secara bergilir. Dalam satu bulan misalnya, suami Erna hanya bekerja selama dua minggu dan kemudian libur dua minggu.
Naas nasibnya, kebijakan tersebut masih berlanjut sampai 2024 ini. Bahkan di tahun 2023 kemarin, telah ada buruh yang PHK lagi. Namun, suami Erna tidak mengalaminya. Tapi, dia hanya mendapatkan kebijakan kerja bergilir. Hal ini pasti akan berpengaruh sama upah yang diterima.
Sama halnya dengan Mpok Sapnah, Erna juga teman makan siangku. Sambil menyantap makan, kala itu kami juga saling curhat tentang banyak hal. Terutama, kondisi ekonomi dan keluarga. Dari curhatan itu aku tahu kalau anak pertama Erna yang berusia 14 tahun dititipkan di kampung bersama mertuanya. Setiap bulan Erna harus mengirim uang antara sejuta sampai sejuta setengah.
Dengan kondisi rentan: status rumah mengontrak, cicilan sepeda motor, dan biaya kebutuhan hidup yang tinggi, dapat dipastikan gaji mereka berdua meskipun disatukan, tetap saja masih kekurangan.
“Berutang adalah jalan ninja kami,” ucap Erna. Hal itu ditempuh olehnya untuk menutupi kekurangan uang seminggu atau dua minggu menjelang gajian.
Dahulu, Erna dan suaminya yang telah bekerja sebulan penuh masih saja kekurangan biaya. Apalagi dengan kondisi saat ini, yang suaminya hanya kerja seminggu atau dua minggu? Dapat dipastikan mereka tetap kekurangan. Meskipun, menurut cerita Erna, suaminya juga menyambi sebagai pengemudi ojek daring, tetapi menjelang kelahiran anak kedua tetap saja ada kekhawatiran.
“Aku enggak mungkin nitip anak lagi ke mertua. Mau enggak mau harus cari yang mengasuh kalau udah selesai cuti lahiran,” ujar Erna, di suatu hari saat kami perjalanan pulang dari tempat kerja.
“Iya yah … di tempatku biaya pengasuhan sekitar tujuh sampai delapan ratusan. Belum uang jajan tiap minggu sama biasa kayak rinso, sabun dan kawan-kawannya,” sahutku menjelaskan kepada Erna. Aku cukup tahu biaya pengasuhan, walaupun aku tidak punya anak kecil. Tapi ibu-ibu sekitar rumahku sering curhat mengenai mahalnya biaya pengasuhan seperti itu.
Tidak hanya teman-temanku yang mengeluh dengan kondisi ekonomi, aku pun sama. Gajiku dan suami, setelah digabungkan, hanya bisa mencapai tujuh sampai delapan jutaan setiap bulannya. Upah tersebut hanya ‘mampir’ saja di ATM kami. Uang habis begitu saja setelah membayar: cicilan rumah, cicilan sepeda motor sebanyak dua buah, hutang ke bank, dan biaya SPP sekolah.
Aku selalu mendahulukan kebutuhan biaya sekolah anakku. Selepas gaji bulanan turun, dengan cepat aku membayar uang SPP untuk anak keduaku. Jika ada uang tersisa, maka aku akan mengaturnya untuk kebutuhan makan selama sebulan. Setelah itu, aku sisihkan juga untuk belanja kebutuhan peralatan mandi. Upahku hanya cukup untuk itu. Itupun sudah diatur sesuai kondisi keuangan.
Ninda, anak pertamaku. Saat ini bekerja sebagai seorang admin di salah satu aplikasi belanja daring. Selain bekerja, dia juga kuliah mengambil jurusan ekonomi di kelas karyawan.
Setiap hari, selepas bekerja, sekitar jam 16.00 WIB, Ninda langsung berangkat kuliah, jarak dari tempat kerja ke kampus sekitar satu jam, apabila ditempuh dengan kendaraan sepeda motor. Sekitar jam 23.00 WIB Ninda sampai rumah. Namun, seringkali Ninda tiba di rumah dengan menjelang dini hari. Lantaran, jarak kampus menuju rumah kami cukup jauh. Jaraknya sekitar dua jam.
Jika Ninda belum sampai rumah, maka aku tidak bisa tidur dengan lelap. Ada perasaan khawatir. Sehingga, setiap malam aku selalu menunggu anak gadisku pulang. Mendengar suara motornya tiba, itu sudah membuat hatiku lega. Walaupun, kelegaan itu berganti menjadi kesedihan setelah melihat wajah lelah anakku.
Aku ingat percakapan kami sepulang wisuda SMA. Obrolan yang menyakitkan bagiku sebagai orang tua. Aku tahu, Ninda bukan anak yang bodoh. Nilai kelulusannya ada di peringkat ketiga. Mempunyai anak yang pintar dan sukses adalah doa yang selalu aku minta di setiap sholatku. Tetapi, kondisi ekonomi membuatku harus membunuh impian anakku.
“Mah, Ninda lanjut kuliah yah? Ninda pengen ngambil jurusan ekonomi atau bahasa inggris mah,” ucapnya sesampai kami di rumah sepulang wisuda waktu itu.
“Nda, Ayah sama Mama bukan enggak mau kamu sekolah tinggi. Tetapi, kondisi kita-kan … Ninda tahu sendiri … tahun ini juga Adit harus daftar SMA,” jawab suamiku.
Di tahun itu, Adit anak keduaku baru saja lulus SMP. Dia merengek minta masuk SMK jurusan IT. Biaya awal SMK saat itu, setelah aku tanya-tanya, sekitar empat jutaan. Berat bagi kami kalau harus membayar kuliah Ninda juga secara bersamaan.
“Nda, Mama sama Bapak minta maaf yah. Mama sama Bapak maunya Ninda kuliah dan nanti kerja kantoran. Mama enggak mau Ninda jadi buruh kayak Mama dan Bapak. Mama tahu rasanya jadi buruh pabrik. Mama enggak mau anak Mama merasakan apa yang kami berdua rasakan. Tap, untuk saat ini sejujurnya, Mama enggak sanggup,” terangku terbata-bata menahan tangis yang sudah di tenggorokan. Aku lihat Mas Budi, suamiku tengah mengusap air matanya.
Hal terberat bagi kami sebagai orang tua adalah tidak mampu memenuhi impian anak untuk sekolah. Sampai hari ini aku menyesal, kenapa sewaktu menikah kami tidak terpikir dengan biaya pendidikan anak? Ketika aku memutuskan menikah semua mengalir begitu saja.
Hidup tidak aku rencanakan dengan matang: pacaran, menikah, lalu punya anak. Tidak ada perencanaan bagaimana pendidikan untuk si anak? Bagaimana model pengasuhannya? Dan seterusnya.
Karena kasihan melihat anakku yang menjadi pendiam, akhirnya kami sepakat Ninda kuliah sambil bekerja. Untuk uang masuk kuliah pertama aku yang membayar. Aku harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 12 juta untuk kuliah dan sekolah Adit. Dan aku harus berhutang ke Bank untuk membayarnya.
“Ninda fokus saja kerja dan kuliah. Ninda tidak usah pikirkan apa-apa. Kerja dan kuliah pasti capek. Jaga kesehatan ya Nak. tidak usah pikirkan pekerjaan rumah,” ujarku ketika Ninda saat memasuki dunia perkuliahan.
Karena sebagai orang, aku tidak mampu memberikan pendidikan yang maksimal, sehingga saat ini, anakku harus bekerja untuk bisa mengenyam bangku kuliah.
Setiap hari aku harus memastikan, bahwa semua pekerjaan telah aku selesaikan. Pagi hari aku bangun jam 03:30 WIB, setelah itu mencuci baju. Dilanjutkan dengan menyapu seluruh ruangan rumah. Lalu, memasak untuk bekal makan siang aku, suami, dan kedua anakku. Aku beruntung kedua anakku tidak malu membawa bekal dari rumah.
“Bestie gimana kabar kenaikan upah kita nih? Kayaknya adem-adem aja yah?” tanya Mba Sum, sesama Perwakilan Anggota (PA) di suatu sore hari, ketika aku dan kawan-kawan PA sedang berduduk-duduk di warung Ucok. Warung Ucok adalah salah satu dari puluhan warung yang terletak di depan pabrik tempat kami bekerja. Warung ini pilihan kami untuk berkumpul, sebab warung ini menyediakan fasilitas karaoke gratis.
“Enggak tau. Jangan-jangan kayak tahun-tahun kemarin kenaikannya sesuai SK,” sahut Budi menanggapi.
“Enggak lah jangan sampe. Masa mau terus-terus kalah … aksi sehari semalam, pulang kehujanan … hasilnya zonk … ogah enggak rela,” ucapku.
“Emang kita ngikut aksi enggak keluar duit apa? Aksi kemarin hampir seratus ribu duitku abis. Minum lebih dari enam botol, belum beli kopi, makan. Ketika tim berunding dengan pejabat, aku juga butuh beli cemilan sembari menunggu kabarnya. Badan capek, duit abis hasilnya cuma naik Rp 72.000. Terus pasrah gitu aja? Enak bener yah … tahun depan … aku males mengikuti aksi enggak jelas gitu deh,” ungkapku panjang lebar.
“Kita enggak kompak sih. Lah disini ada tujuh serikat yang aksi cuma empat serikat. Inget-inget deh aksi kemarin berapa serikat yang turun?” tanya Amin.
“Buruh di pabrik kita jumlahnya hampir 15.000 orang. Kemarin yang turun berapa? Dari kita 160 orang, dari serikat X 230 katanya, belum lagi serikat Y sebanyak 100 orang, lalu ditambah serikat C jumlahnya 50 orang, kalau ditotal berapa tuh? Enggak nyampe 500 orang yakan?” lanjutnya.
“Padahal berat banget perjuangan kita ini yah, gimana caranya agar Omnibus Law yang jadi biang kerok upah murah ini dicabut? Mau menekan Gubernur kayak gimana … ya … sulit karena aturannya jelas sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36. Mana ada sih Gubernur yang berani sama presiden?” Andika yang dari tadi asyik dengan kopi dan rokoknya akhirnya bersuara.
“Rezimnya tidak pro buruh, gerakannya lemah, buruhnya takut aksi, karena takut di PHK. Organisasinya enggak kompak. Aksi-aksi upah layak seremonial doang!
“Nah bener apa yang Andika katakan, kita sudah tahu kelemahan-kelemahan ini terus mau gimana? Diem? Setiap abis aksi upah pasti kita begini, ngedumel, kecewa tapi ngak bisa apa-apa jugakan? Tahun depan aksi lagi kecewa lag …” ujarku, sambil menghabiskan sisa es kopiku dan mengambil kunci motorku yang tergeletak di depan Budi.
“Udah sore bubar yuk. Besok kita ngerumpi lagi sambil mikirin apa yang bisa kita lakukan. Sudah ya, aku balik dulu, assalamualaikum, “pungkasku sambil meninggalkan warung Ucok.
“Sudah memasuki minggu kedua bulan Januari dan dua minggu lagi kami gajian. Tapi tidak ada tanda-tanda perundingan upah di Pabrik. Apakah pengurus-pengurus itu serius memperjuangkan upah? Kalau serius harusnya mereka punya rancangan kenaikan upah. Mereka juga akan mengajak kawan-kawan buruh berdiskusi di pabrik jauh-jauh hari, tapi aku tidak melihat itu.” Mataku awas menatap jalanan, sambil membawa motor, tetapi pikiranku masih tertinggal di warung Ucok.
“Kalau tidak ada kenaikan upah lagi, lalu bagaimana kedepannya?”
Aku masih punya mimpi menyekolahkan anakku setinggi-tingginya. Aku ingin membelikan anakku sepeda motor. Tentu agar mengirit ongkos sekolah. Lantaran, setiap hari aku harus memberi Adit uang sebesar Rp 25.000: untuk jajan Rp 10.000 dan ongkos Rp, 15.000.
Aku juga ingin memberi makan yang layak dan gizi yang bagus buat anak-anak kami. Aku tidak ingin seperti sekarang, kami hanya bisa makan daging atau ayam setelah waktu gajian tiba. Setelah itu, lauk yang kami makan harus berganti. Biasanya antara telur atau ikan kembung yang harga sekilonya sekitar Rp 30.000. Ikan yang kami dapat delapan sampai sepuluh ekor .
Lain mimpiku lain pula mimpi teman-temanku. Seperti halnya Mbak Ani. Perempuan yang juga merupakan seorang ibu ini sangat berharap anaknya bisa cakap bahasa Inggris, tapi apa daya, untuk membayar kursus bahasa Inggris tidak sanggup.
Begitu juga dengan Rizky. Dia berharap memiliki uang yang cukup. Mengingat salah seorang anaknya yang sebentar lagi masuk sekolah dasar.
Berbeda dengan mimpi Rizky . Mpok Sapnah berharap anaknya yang akan lulus SMA tahun depan langsung mendapatkan pekerjaan. Maklum, Mpok Sapnah seorang single parent. Karena itu, anak pertamanya harus bekerja agar bisa membiayai dua adiknya bersekolah.
Ada juga mimpi teman-temanku yang menginginkan anaknya mendapat pendidikan yang berkualitas. Namun, semua mimpi itu harus pelan-pelan kami kubur, karena kami sadar biaya pendidikan tinggi, tidak murah.
Biaya kursus juga tidak murah, karena kami hanya buruh yang diupah murah dengan kenaikan upah tahun 2024 ini sekitar Rp 3.000 per hari.
“Ah … andai saja pengurus-pengurus serikat di pabrik kompak menuntut pengusaha memberi fasilitas kursus gratis bagi anak-anak buruh, mungkin Mba Ani tersenyum bahagia,” harapku.
“Andai Serikat di pabrik menuntut pengusaha menyediakan penitipan anak, mungkin uang Mbak Erna sebesar Rp 800.000-an bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain,” pikirku.
“Seandainya … seandainya … dan seandainya…”
Hampir empat puluh menit perjalananku kali ini. Tidak terasa motorku sudah sampai di depan halaman rumah. Rumahku tampak sepi, artinya anak-anak belum sampai rumah. Suamiku sedang mendapat jadwal sif dua.
Aku merebahkan tubuh di atas kursi. tiba-tiba notifikasi whatsapp berbunyi,
“Mba … aku ambil PHK-an ya … aku capek dikejar-kejar debt collector. Besok aku sudah diminta menghadap HRD. Maafkan yah kalau selama ini Iki banyak salah,” tulis Rizky dalam pesan whatsapp yang belum selesai aku baca.
Bukan baru kali ini aja aku kehilangan teman. Sebelumnya, telah banyak teman-temanku yang berakhir mengambil PHK-an, karena terlilit pinjaman daring. Harus berapa orang lagi teman-temanku yang nyerah karena kondisi ekonomi?
Orang-orang mungkin berpikir kami boros, kami tidak bisa mengatur keuangan, kami tidak bisa menabung. Bukan. Bukan karena itu semua. Tapi, memang tidak ada uang yang bisa ditabung.
Kalaupun berhutang adalah karena ada keperluan mendesak. Kami berhutang bukan untuk beli kendaraan, skincare atau jalan-jalan. Kami berhutang karena untuk keperluan mendesak seperti biaya anak sekolah, keluarga sakit, dan keperluan-keperluan lain.
Kembali lagi pada perjuangan upah yang belum terlihat tanda-tanda perundingan di pabrik. Aku paham sulit sekali menggerakkan anggota atau kawan-kawan buruh untuk mau berjuang. Aku juga paham banyaknya organisasi di pabrik yang justru membuat perjuangan kenaikan upah menjadi lebih sulit. Tentu karena mereka belum terbangun kekompakan bersama. Aku juga paham pengurus-pengurus organisasi seperti kebingungan mencari taktik perjuangan untuk isu kenaikan upah kali ini.
Aku paham dengan kondisi itu, tapi aku juga kecewa. Bahkan temanku seperti Budi, Andika dan yang lainya, telah lebih dahulu kecewa sejak dua tahun lalu. Dan hari ini kami harus kecewa lagi. Tapi kami tetap akan berada di barisan paling depan. Kami tidak akan mundur walaupun mungkin tahun depan kami kecewa. Karena aku yakin harapan selalu ada!
Editor: Syaukani Ichsan