“Saya sebetulnya malu mau cerita. Buat saya, ini adalah aib,” suaranya lirih dan terbata-bata. Napasnya terengah-engah. Butuh banyak tenaga untuk mengeluarkan setiap kata dari mulutnya. Dengan tatapan mata kosong, sesekali disertai batuk kecil. Akhirnya, dia menceritakan apa yang menurutnya aib. Salah satu sebab dari sakit yang sekarang ia derita.
“Setelah kelahiran Alisha, saya tidak lagi memiliki keinginan untuk berhubungan dengan istri. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, awalnya main MiChat. Namun, lama-lama ketagihan. Dalam satu bulan saya bisa berganti-ganti lebih dari tiga perempuan,” jelasnya.
MiChat merupakan aplikasi pesan singkat yang dapat diunduh di iOS dan android. Tidak berbeda dengan aplikasi pesan singkat, semisal Whats app, Signal, dan sebagainya. Namun, di Indonesia, aplikasi MiChat lebih dikenal sebagai media untuk prostitusi daring.
Hening. Ketika aku membuka pintu kamar yang luasnya sekitar empat meter persegi, bau obat khas rumah sakit menusuk hidung. Selurus dari pintu masuk tampak pintu kamar mandi. Di ruangan itu terdapat dua tempat tidur, lemari kecil dan kursi. Antara tempat tidur terdapat tirai yang menjadi pembatas. Televisi ukuran 42 inci menjadi saksi setiap pasien di tempat tidur itu. Entah berapa pasien yang telah ia saksikan. Tepat di bawah televisi sebuah kulkas satu pintu.
“Bro,” aku memanggil tubuh kurus berbalut selimut kain motif batik.
“Ya,” ujarnya sembari berusaha menggerakkan leher berusaha menengok ke arahku. Tampak sisa-sisa air mata dari sudut matanya yang telah diusap. Kelopak matanya cekung menghitam. Bolanya membulat, seperti bola pingpong. Tubuhnya hanya tersisa tulang dan sendi-sendi yang menonjol yang dibalut kulit keriput. Kurus kering. Bibirnya kering dan pecah-pecah. Ia tak kuasa menutup kedua bibirnya karena luka-luka di rongga mulutnya.
***
Ramdan, namanya. Usianya sekitar 25 tahun. Teman-teman sekerjanya memanggil dia Bule. Bule bekerja di bagian assembling di sebuah pabrik pembuat sepatu merek internasional di Kota T.
Seingetku, dia dipanggil Bule karena perawakannya. Dulu, badannya tegap setinggi 180 centimeter, dihiasi dengan kulit putih dan bersih. Bagi sebagian orang kulit putih adalah anugerah. Ada begitu banyak orang yang terobsesi dengan kulit putih. Dengan rahang persegi, hidung mancung dan rambut dicat pirang menambah kesempurnaan tubuhnya.
Aku mengenal Bule sekitar tiga tahun lalu. Ketika pabrik mengadakan pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kami hadir karena diutus dari departemen tempat kami bekerja. Bule orangnya supel dan ramah. Tadinya aku tidak mengira kalau dia sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia sekitar dua tahunan.
Dari pelatihan K3 itulah kami menjadi dekat. Perkawanan itu pula yang membawa dia ikut menjadi anggota serikat buruh, di mana aku menjadi salah satu pengurus. Sejak menjadi anggota, kami jadi lebih sering bertemu bertukar cerita tentang banyak hal. Dia pun termasuk anggota yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi.
Selama hampir tiga tahun aku mengenalnya. Dia seperti tidak memiliki persoalan keluarga. Aku mengira kehidupan rumah tangganya baik-baik saja.
***
Matahari melotot. Hembusan angin enggan menghampiri. Hawa seperti didekat tungku. Hari itu aku mendapat tugas dari organisasi untuk menjemput anggota yang sakit dari rumahnya. Aku ditugaskan untuk membawanya ke rumah sakit. Menurut kabar yang kuterima, sakitnya sudah lebih dari dua minggu dengan gejala batuk yang tidak sembuh. Malam sebelumnya, dia sesak napas dan untuk berjalan harus dibantu kursi roda. Badannya pun panas tinggi. Dia tidak berhenti diare.
Aku tidak menyangka kalau yang aku jemput adalah Bule. Bule masuk IGD sekitar pukul 12.00 siang dan masuk masuk kamar perawatan sekitar pukul 6 sore.
“Hai Wak, dikirain tadi pulang,” sapanya melihat aku yang masih menunggu. Wak adalah panggilan buat temen akrab. Panggilan itu mirip dengan panggilan “Bro”.
Aku menarik kursi dan mendekat ke arah tempatnya berbaring.
“Wak gak takut deket-deket sama pengidap HIV, kayak saya?” Bule berusaha meyakinkan kehadiranku.
“Nggaklah. Saya sudah beberapa kali ngurus pasien yang sakitnya kayak kamu. Santai aja, nggak usah merasa nggak enak. Yang penting sekarang pikirkan bagaimana bisa sehat,” ujarku mencoba membesarkan hatinya.
“Le,” pelan aku memulai obrolan.
“Sejak kapan kamu tahu sakitmu ini? Kenapa nggak langsung lapor ke pabrik,” desakku ingin menghilangkan rasa penasaran.
Dalam pikirku, jika Bule jauh-jauh hari melaporkan diri ke pabrik mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Mungkin pula akan ada penanganan yang lebih intensif. Sejauh pengetahuanku, orang dengan HIV jika cepat terdiagnosis akan mendapat penanganan khusus dapat hidup sebagaimana umumnya.
Sebelumnya, siang tadi aku mendengar kabar dari kakaknya. Si kaka mendapat informasi dari dokter. Kata dokter, Bule pernah melakukan tes HIV. Bule memeriksakan diri ketika dia memiliki gejala yang sama dengan temannya. Temannya sering merasa lelah yang berlebihan, berat badan turun drastis, hampir setiap bulan diare, sariawan, sakit kepala, merasakan sakit di bagian sendi dan tulang. Temannya pun positif terpapar virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh alias human immunodeficiency virus (HIV). Begitu pula Bule.
Setelah hasil diagnosis itu, dokter menyarankan agar anak dan istri Bule pun memeriksakan diri. Bule tidak melakukannya. Saran dari dokter pun, Bule pun harus mengonsumsi dua jenis obat berbentuk tablet berwarna biru dan putih, di waktu yang sama, setiap hari seumur hidup. Obat itu biasa disebut dengan dengan obat antiretroviral. Yakni, obat yang berfungsi untuk mengandangi virus dan mencegah penyebaran virus ke seluruh tubuh. Sehingga virus tidak berubah menjadi AIDS. Tindakan tersebut, barangkali tidak sulit. Tapi, untuk menyampaikan vonis ke istri butuh keberanian yang berkali lipat, apalagi mengajak mereka memeriksakan diri.
Sakit infeksi paru yang sekarang diderita kemungkinan besar adalah karena dampak dari HIV tersebut. Hanya saja semuanya dia tutupi. Keluarganya, khususnya kakak perempuannya, di mana selama satu bulan ini Bule numpang hidup pun tidak diberi tahu. Tidak ada yang tahu sama sekali ihwal penyakitnya.
Ani, nama kakaknya. Ani hanya tahu, istri dan anak Bule pulang ke rumah ibunya dan sudah tidak mau komunikasi. Ani tidak tahu penyebab kepergian istri dan anak Bule. Tentang alasan kepergian istri dan anaknya pun, Bule tidak terus terang. Setiap Ani menanyakan tentang kepergian istri dan anaknya, Bule hanya menjawab, “Tidak apa-apa. Biasalah, Teh. Udah capek kali hidup sama Bule”.
Bule menatap langit-langit kamar. Napasnya pendek-pendek. Dengan suara sangat pelan, bahkan aku harus mendekatkan kupingku agar dapat mendengar suara dari mulutnya. “Malu sebenarnya untuk cerita. Karena ini aib. Kalau pun saya cerita bukan bangga dengan aib-aib saya. Semoga jadi pelajaran buat yang lain agar tidak seperti saya.”
November 2019 adalah kelahiran Alisha. Anak pertamanya. Setelah melahirkan, istrinya memutuskan keluar dari pekerjaan dari salah satu toko retail besar di kota T. Sejak itu, istri Bule mengurus rumah tangga.
“Tidak tahu kapan tepatnya dan apa penyebabnya. Setelah melahirkan saya tidak berkeinginan untuk berhubungan sama istri. Nggak tahu kenapa melihat istri setelah melahirkan tidak seperti sebelumnya. Cuma anak yang jadi alasan untuk balik ke kontrakan,” ungkap Bule.
Cerita Bule mengingatkanku pada kejadian–kejadian di keluarga buruh miskin. Ketika memutuskan berumah tangga, buruh perempuan akan memilih mengurus rumah tangga. Sepenuhnya mengurus rumah tangga. Kadang keluarga buruh tidak memiliki pengetahuan dan persiapan yang cukup untuk membina rumah tangga. Tentu saja, keluarga buruh tidak memiliki ilmu parenting, bagaimana menata pembagian kerja di rumah, dan membangun perencanaan bersama.
“Saya tadinya mengira ini hal biasa setelah melahirkan dan nanti baik-baik saja. Karena istri pun tidak mempersoalkan semua itu. Memang setelah istri melahirkan beberapa kali tidur bersama namun kesini-sini istri tidur sama anak di kamar. Saya tidur di ruang tamu. Akhirnya membuat lupa dengan kewajiban saya sebagai suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin, bahkan untuk mencukupi kebutuhan hidup pun istri jualan online.”
“Semua berawal dari MiChat. Awalnya iseng akhirnya jadi kebablasan. Kemudian mencoba open BO, yang jadi bahan candaan kalau shift kerja malam. Akhirnya jadi bagian dari pengalaman hidup,” kata Bule.
“Sabtu siang di Agustus 2020,” tambahnya. Kala itu, Bule memutuskan menemui seorang perempuan yang dikenalnya melalui MiChat. Melalui aplikasi tersebut, Bule berkenalan dengan Lia, usia 26 tahun. Nyaris setiap hari saling menyapa. Perkenalan itu berlangsung kurang lebih dua bulan.
Melalui aplikasi tersebut, perlahan Bule mengenal Lia. Delapan tahun lalu, Lia meninggalkan kampungnya mencari peruntungan sebagai buruh pabrik garmen. Sejak pandemi COVID-19 menerpa, Lia dan kawan-kawan sekerjanya dirumahkan tanpa upah. Mereka hanya berkumpul di kontrakan. Pemerintah melarang pergerakan orang. Lagi pula, Lia tidak memiliki uang untuk pulang kampung. Kata Lia, pemilik pabrik berjanji bahwa mempekerjakan kembali seluruh buruh setelah pandemi COVID-19 berakhir.
“Kami membuat janji temu di minimarket A,” kenang Bule. “Kami sengaja ketemu di kontrakan karena di kotaku sedang pengetatan PPKM.” Dari pertemuan itu, Bule akhirnya melihat langsung perawakan Lia. Lia perempuan manis dan periang. Pertemuan itu tidak terlalu canggung. Karena sudah terbiasa berkomunikasi melalui aplikasi media sosial.
Hari itu, Lia membawa Bule kontrakan. Dari minimarket ke kontrakan Lia, tidak sampai sepuluh meter. Kontrakan tersebut berbentuk huruf U. Kurang lebih ada sepuluh pintu berhadap-hadapan. Antara satu pintu dengan pintu lain dibatasi tembok. Di pojok kontrakan terdapat lahan luas tempat jemuran dan dua bangku kayu panjang yang disediakan untuk kongko penghuni kontrakan.
Menurut Lia, rata-rata penghuni kontrakan adalah buruh perempuan. Ada yang buruh sepatu, pakaian jadi, buruh elektrik, pramuniaga, restoran, hingga pemandu lagu di tempat karaoke.
Kamar Lia terletak di barisan nomor lima sebelah kanan. Ketika memasuki ruangan, Bule mengamati penataan barang di ruangan berukuran 3 x 6 meter tersebut: tersusun rapi dan bersih. Ruang depan dialasi karpet. Ruang tengah difungsikan sebagai tempat tidur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan dapur kecil. Sebuah televisi LED ukuran 36 inci menempel di dinding. Tepat di bawah televisi sebuah kipas angin dan lemari kecil yang terisi dengan boneka dan stoples makanan. Tentu saja ada sebuah rak sepatu dan sandal.
Lia anak yatim. Bapaknya meninggal sedangkan ibunya adalah buruh tani. Lia memiliki dua adiknya yang masih bersekolah.
Sebelum dirumahkan, dari upahnya Lia sanggup mengirim uang untuk keluarganya di kampung dan menutupi kebutuhan harian: makan, bayar kontrakan, beli keperluan pribadi, dan cicilan motor. Wabah korona melanda. Mobilitas sosial dibatasi. Pabrik menutup sementara produksi. Lia berusaha memaklumi pemilik pabrik yang tidak mampu bayar upah karena wabah korona. Tapi pemilik kontrakan, isi perut dan kebutuhan sehari-hari lainnya tidak bersedia kompromi. Itulah yang mendorong Lia memutuskan open BO melalui aplikasi MiChat. Sekali melayani konsumen, Lia dapat mengantongi Rp300 ribu.
Setelah pertemuan pertama itu, komunikasi Lia dan Bule kian intensif. Bule merasa makin dekat dengan Lia. Hampir setiap hari Bule menyediakan waktu untuk berbincang dengan Lia. Begitu pula Lia. Mereka berbagi cerita pengalaman sehari-hari.
Bule pun kembali mengunjungi Lia di kontrakan. Kini perasaan Bule merasa lebih leluasa. Seakan mau bertamu ke rumah teman. Sebelum ke kontrakan Lia, Bule mampir di minimarket dan membeli makanan dan minuman ringan.
Ketika tiba di kontrakan, Bule kaget. Ternyata suasana kontrakan sedang ramai. Hampir seluruh pintu kontrakan terbuka. Suara musik dari televisi bersaing dengan orang-orang yang mengobrol yang diselingi gelak tawa.
“Ramai, ya?!” Sambut Lia ketika Bule membuka pintu. Tanpa menunggu jawaban dari Bule, kalimat lain telah muncul dari mulut Lia. “Mereka pada libur. Ada juga yang shift.”
“Takut, ya?!” Kali ini Lia mencoba menebak pikiran Bule yang celingukan.
“Gak usah takut. Mereka gak usil kok. Mereka tahu apa kerjaan saya sekarang. Asal kamu tahu. Yang ngasih tahu aplikasi MiChat dan kerjaan ini ‘kan mbak Lulu. Tuh yang kamar ketiga di depan,” tunjuk Lia.
“Serius?” Bule terperangah.
“Gak usah kaget gitu kali. Kamu bakal lebih kaget lagi kalau kukasih tahu. Sebelah nih, terus tuh pintu nomor dua di seberang, kamar pertama sebelah gerbang. Leader-nya tuh kamar depan,” jelas Lia sambil mengangkat dagunya menunjuk beberapa kamar depan yang pintunya tertutup mungkin yang dimaksud mbak Lulu itu tadi.
“Nanti aku kenalin yah sama temen-temen. Tadi aku lihat mereka ada dirumah.”
Kunjungan ketiga. Kali ini Bule tidak berkunjung ke kamar nomor lima. Tapi menyeberang ke kamar depan menemui Lulu.
Lulu, janda satu anak. Dia bekerja sebagai pemandu lagu di salah satu hotel bintang tiga di kota T. Lagi-lagi, Lulu korban dirumahkan tanpa diupah dengan dalih wabah korona. Agar bertahan hidup, Lulu menawarkan diri di MiChat.
Minggu-minggu berikutnya, Bule berganti perempuan lagi. Ibarat membeli barang dagangan, Bule dapat mengganti jenis perempuan sesuai mood. Masih di area kontrakan Lia. Setelah merasakan Lia dan Lulu, Bule mencoba Citra, Nancy, Santi dan entah siapa lagi. Bule semakin tidak mengenal beberapa perempuan yang telah dibelinya.
“Aku tidak lagi main MiChat. Duniaku adalah circle Lia,” papar Bule. Menurut Bule, penggantian perempuan yang dibelinya tidak hanya faktor ‘ingin mencoba’ perempuan lain. “Kalau aku minta Santi, sedangkan dia sudah ada konsumen lain maka Santi akan merekomendasikan temannya yang free. Istilah mereka berbagi rezeki.”
Begitu juga soal harga. Karena sudah saling kenal, apalagi mendekati akhir bulan dan keperluan membayar kontrakan harga dapat dinegosiasikan. “Aku hanya membayar Rp100 ribu.”
Tapi mungkin ada pembaca mengira bahwa pilihan tersebut karena buruh-buruh yang menjajakan diri di aplikasi media sosial karena terpengaruh gaya hidup dan tidak berakhlak. Bukan. Jika diingat-ingat lagi, hidup kita itu rentan. Kita hidup di bawah garis kemiskinan. Semua kebutuhan harus dibeli. Untuk keperluan pendidikan dan kesehatan pun kita harus merogoh kocek yang tidak kecil. Apalagi untuk kebutuhan sehari-hari. Jika tidak bekerja kita menjadi beban keluarga. Makan hanya dengan ikan asin, telur dan sambal. Negara tidak memberikan jaminan kehidupan layak.
Hanya dengan bekerja, kita dapat menaikan taraf hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Dapat membeli baju dan makanan yang relatif layak. Tapi sebenarnya, jenis pekerjaan yang tersedia pun tidak stabil: jika buruh diupah murah dengan kondisi kerja yang buruk. Lagi-lagi pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mereka lebih takut investor kabur ketimbang memastikan warganya mendapat pekerjaan yang layak dan aman.
Ketika wabah COVID-19 melanda buruh kehilangan pekerjaan tanpa mendapatkan upah atau pesangon. Runtuh pula topangan hidup. Persis seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku saja yang masih bekerja namun pada saat pagebluk korona diliburkan sepuluh hari tanpa upah. Aku merasa tertekan karena kehilangan kehilangan upah sekitar Rp1,5 juta dalam sebulan.
Keputusan Lia untuk menjadi perempuan open BO tidak mudah. Di tengah desakan kebutuhan yang tidak dapat dikompromikan, ketakutan, kekhawatiran, dan lainnya. Satu hal yang diingat Lia, ketika pemerintah mengumumkan pembatasan sosial, para pelajar menjalankan kegiatan belajar di rumah: pengerjaan dan pengiriman tugas dilakukan secara daring. Saat itulah adik-adik Lia merengek agar memiliki telepon genggam disertai dengan isi kuota data.
Bule merenungi bagaimana Lia bertahan hidup. Pabrik tempat Lia bekerja membayar hanya membayar Lia Rp3,2 juta. Di bawah UMK Kota T yang di kisaran Rp4 juta. Dari upah tersebut Lia mengalokasikan untuk bayar kontrakan Rp700 ribu, bayar listrik dan rumah tangga lainnya Rp200 ribu, mengirim ke keluarga di kampung Rp1 juta, bayar cicilan motor Rp900 ribu. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Tentu saja Lia tidak memiliki dana darurat, apalagi menabung. Bule seperti melihat kenyataan bahwa kehidupan Lia, seperti pada umumnya buruh: sekadar menumpang makan, dapat berteduh dan sedikit meringankan beban orangtua.
Lia berangkat dari kampung menuju pusaran industri di Kota T. Konon di Kota T, tidak sulit mencari uang. Di kota industri dengan berdiri di persimpangan jalan pun dapat menghasilkan uang. Dengan mengantongi ijazah SMA, Lia berharap dapat memperbaiki kualitas hidup dan memenuhi impian: tidak menjadi beban keluarga dan berbakti pada orangtua.
Seperti terjadi pada ribuan perempuan-perempuan muda lainnya. Lia bersaing dengan ribuan calon tenaga kerja memasuki pabrik garmen, sepatu, makan, minuman, atau elektronik. Sentuhan tangan-tangan perempuan muda itu menjadikan barang pabrik layak di pajang di mall-mall besar dan menyandang predikat barang berkelas. Di tempat kerja, perempuan-perempuan muda itu diupah murah dan sarana kesehatan yang buruk.
Ketika COVID-19 menerjang, mereka dijadikan tumbal untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Dan, para manajer pabrik menyelamatkan diri dengan mengatakan, ‘Karena kondisi pandemik mal-mal tutup sehingga berpengaruh pada produksi kita di sini. Dengan sangat berat hati kalian kami rumahkan.’
***
Bule kian asik dengan dunia barunya. Ibarat anak kecil yang memiliki mainan baru, lupa dengan mainan lama. Bule semakin menjauh dari keluarganya. Ia tidak lagi mengenal bagaimana istrinya repot mengurus anak. Bule makin tergantung dengan dunia barunya. Ia menghabiskan sekitar 50 persen dari pendapatan total. Sementara istri dan anaknya harus bertahan dengan pemberian Rp2 juta per bulan.
Pandemik belum juga berakhir hingga 2021. Akhirnya muncul persoalan. Selama ini Bule mengandalkan dua sumber pendapatan. Yaitu kerja di pabrik dan fotografer acara kawinan. Karena muncul kebijakan PPKM, Bule tidak lagi mendapat sumber pemasukan lain. Sementara kebutuhan rumah tangga naik 50 persen. Istri Bule mengeluh dengan kebutuhan harian dan meminta tambahan nafkah.
Bule terlalu pengecut menghadapi kenyataan. Ia malah lari dari tanggung jawab. Muncul pertengkaran di rumah tangganya. Ketimbang mengatasi persoalan, setiap pulang kerja Bule melarikan diri ke kontrakan Lia.
“Wak, ingat Aseu Geboy?” Desak Bule.
“Gejala sakit saya hampir sama kayak dia. Sekitar enam bulan lalu tes HIV, hasilnya positif.”
Aku ingat betul, Aseu Geboy adalah pasien pertama yang aku tangani, pada 2019. Aseu Geboy tidak tertolong. Ia meninggal. Ada pula di bagian warehouse dengan nasib yang sama. Dalam kurun waktu tiga tahun enam orang anggotaku dinyatakan positif HIV/AIDS. Tapi selalu terlambat ditangani. Aku bertanya pada diri sendiri; mengapa kondisi-kondisi ini bisa lepas dari perhatian serikat buruh? Kenapa pendidikan serikat buruh jarang membahas tentang kesehatan reproduksi?
Setelah mengetahui dirinya HIV positif, Bule tidak memberitahukan siapapun. Ia memendam ceritanya. Hari-hari diselimuti perasaan bersalah. Selain malu dan takut dijauhi teman kerja, takut dikenai pasal long illness, yang menyebabkan Bule menutupi statusnya.
Memang di tempat kerja Bule, terdapat beberapa buruh laki-laki yang terpapar HIV. Setelah diketahui manajemen pabrik malah dikenai pasal sakit berkepanjangan. Sakit berkepanjangan merupakan proses pemutusan hubungan kerja bertahap. Padahal, setahuku, orang yang baru terpapar HIV, jika disiplin dengan petunjuk dokter dapat beraktivitas normal sebagaimana umumnya.
Sebenarnya, Bule tidak memiliki informasi yang cukup tentang virus yang telah menyerang sistem kekebalan tubuhnya. Ia pun mengabaikan petunjuk dokter. Dua bulan lalu, kesehatannya memburuk. Karena kesehatannya yang terus menurun, Bule menceritakan kondisi sebenarnya kepada istrinya. Istrinya marah besar. Istrinya pun meninggalkan dan menutup komunikasi dengan Bule.
“Le, waktu itu kan lagi pandemi kamu enggak takut kena korona?” Aku mengungkapkan keherananku. Di masa itu, setiap orang menjaga imun tubuh dengan berbagai cara. Bule malah menjalin kontak dengan orang yang baru dikenal.
“Hahahaaaa…” Bule tertawa senang.
“Wak! Kamu kayak bukan orang pabrik aja. Kita orang pabrik kebal COVID. Emang di pabrik ada jaga jarak? Lha satu cuntang ekstra joss di minum satu shift sehat-sehat aja”. Bule menceritakan bahwa di masa COVID-19, tempat kerjanya bekerja normal. Dari luar pabrik memang seolah terdapat spanduk yang mewajibkan penerapan protokol kesehatan. Saat buruh memasuki pabrik pun seolah ada jaga jarak, diperiksa suhu tubuhnya dan mencuci tangan. Ketika memasuki ruang produksi, semua berjalan seperti biasa, bahkan tidak ada makanan atau gizi tambahan.
***
“Hayya alassalaah, hayya alassalaah.”
“Hayya alalfalaah, hayya alalfalaah…”
Samar suara azan membangunkan tidurku. Seperti biasa, ketika bangun tidur aku meraba telepon genggamku dan melihat jam digital di handphone. Aku memeriksa pesan-pesan yang masuk. Ada sekitar duabelas pesan masuk. Dengan terkantuk-kantuk, aku mengamati secara cepat pesan tersebut.
Jempolku terhenti ketika membaca sebuah pesan di sebuah grup Whatsapp pengurus organisasi.
“Innalilahi wa innailahi rojiun. Berita duka telah meninggal anggota kita Ramdan alias Bule dari bagian assembling factory 2 line 7. Malam tadi jam 22.00. Semoga alm. diterima Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.”
Dadaku terasa sesak. Air mata membasahi pipi. Ingatanku melayang ke pertemuan dengan Bule. “Saya kangen Alisha pengen meluk dia. Mau minta maaf karena saya belum jadi ayah yang baik. Pengen minta maaf juga sama ibunya banyak sekali kesalahan saya sama dia.” Selamat jalan Bule!