Search
Close this search box.

Pekerja NGO: Bukan Sekadar Pekerja Kemanusiaan, Tetapi Buruh dengan Hak Penuh

pekerja-NGO

Ari meminum kopi saset ketiganya hari ini. Jam tiga pagi tadi, ia baru pulang dari Polda Metro Jaya, Jakarta menjemput demonstran yang ditangkap oleh polisi. Negosiasi alot terjadi sehingga pembebasan massa aksi yang ditangkap menjadi sulit. Kendati begitu, ia dibantu rekan koalisi masyarakat sipil lainnya untuk berupaya membebaskan massa aksi yang ditahan dan bertahan di Polda. 

Sebelumnya, Ari baru saja bepergian keluar pulau Jawa menuju beberapa pulau-pulau kecil1 untuk mengadvokasi warga terdampak di wilayah tambang. Durasi perjalanannya memakan waktu dua hari. Jarak tempuhnya enam jam dari bandara domestik terdekat melalui rute perjalanan darat dan laut. 

Ini gambaran pekerja NGO dalam melakukan pelaporan setiap selesai melakukan kegiatan. Ia harus mengumpulkan nota transaksi perjalanan, boarding pass, kemudian menempelkan kertas fisik satu persatu di selembar kertas lainnya, mengurutkan tiap lembar kertas sesuai urutan pengajuan dana kegiatan, memastikan kelengkapan foto dan laporan, kemudian menjilidnya rapi untuk diserahkan ke bagian keuangan untuk diperiksa. Kadang, koreksi laporan keuangan baru selesai dikoreksi tiga minggu kemudian yang membutuhkan revisi di beberapa bagian. 

Advokasi lapangan sulit, advokasi kebijakan juga sulit, tetapi yang paling melelahkan baginya adalah beban administrasi yang bertumpuk. Ia juga sadar bahwa kerja pelaporan keuangan dan kegiatan ini adalah rutinitas yang sangat diperlukan untuk menjaga akuntabilitas dan efektivitas kinerja dan kebijakan penggunaan anggaran internal. Bagaimanapun, dari semua uraian kerja sebagai orang yang secara sukarela memilih karir sebagai “aktivis”, kerja administratif seperti ini adalah hal yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Sambil menunggu laporannya selesai dicetak, ia meraba perutnya. Sial, asam lambungnya naik.

Di balik perjuangan Organisasi Non Pemerintah (NGO) yang kerap dianggap sebagai pilar demokrasi dan advokasi hak asasi manusia, ada kenyataan yang sering terlupakan: pekerja NGO adalah buruh. Mereka bukan hanya pahlawan kemanusiaan, aktivis, maupun Pembela HAM, tetapi juga pekerja yang memiliki hak-hak ketenagakerjaan yang sama dengan buruh di sektor lain.

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, definisi buruh mencakup “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Definisi ini tidak membedakan apakah buruh tersebut bekerja di perusahaan komersial, lembaga nirlaba, atau yayasan/perkumpulan yg. Selama ada hubungan kerja yang melibatkan pemberian upah atau imbalan dari pemberi kerja, orang tersebut dianggap sebagai buruh. 

Konvensi International Labour Organization (ILO), seperti Konvensi No. 87 dan 98 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, memperkuat pandangan ini dengan mendefinisikan pekerja secara luas tanpa membedakan bentuk badan hukum pemberi kerja. Hak-hak pekerja, termasuk kondisi kerja yang adil, upah yang layak, dan kebebasan berserikat, melekat pada semua individu yang bekerja dengan menerima upah.

Masih banyak yang beranggapan bahwa pekerja NGO bukanlah buruh. Bahkan orang seperti Ari menganggap pekerjaannya adalah aktivis, bagian dari pejuang masyarakat sipil demi tujuan kemanusiaan. Pandangan ini, meskipun mungkin dimaksudkan untuk mengapresiasi dedikasi pekerja NGO, seringkali mengabaikan kenyataan bahwa mereka tetap merupakan pekerja yang berhak atas perlindungan dan hak ketenagakerjaan. Dengan bekerja di bawah kontrak atau perjanjian kerja, baik kontrak tetap maupun sementara, pekerja NGO berhak mendapatkan upah, jaminan sosial, asuransi, dan manfaat lainnya dari pemberi kerja mereka, seperti yayasan atau perkumpulan.

Terlepas dari bentuk badan hukum pemberi kerja (yayasan/perkumpulan), semua hak pekerja seperti upah minimum, waktu istirahat, cuti tahunan, serta perlindungan dari diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja adalah hak asasi manusia yang tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) menekankan bahwa semua pekerja, tanpa kecuali, harus mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.

Menghadapi Risiko Kerja yang Tinggi

Pekerja NGO sering menghadapi risiko kerja yang tinggi, seperti bekerja di daerah konflik, menangani isu-isu sensitif atau berada di lingkungan kerja yang kurang stabil. Risiko fisik, psikologis, dan sosial yang dihadapi oleh pekerja NGO seringkali lebih besar dibandingkan pekerja di sektor lain. Mereka mungkin menghadapi tindakan hukum yang tidak adil atau kriminalisasi terhadap aktivitas mereka, seperti penangkapan atau penyidikan oleh aparat penegak hukum yang tidak setuju dengan aktivitas mereka. Selain itu, bullying, trolling, doxxing2 , intimidasi, GBVH (Gender-Based Violence dan Harassment) atau kekerasan berbasis gender3 , hingga hal yang mengancam nyawa juga kerap dihadapi sebagai resiko kerja. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hak-hak kerja dan keselamatan harus tetap dijamin tanpa diskriminasi.

Kondisi rentan ini diperparah karena Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum mencakup perlindungan spesifik tentang bentuk kekerasan lainnya seperti fisik, ekonomi, dan psikologis agar lingkungan kerja yang lebih aman dan inklusif.

Konvensi ILO No. 190 mengakui bahwa kekerasan berbasis gender tidak hanya mencakup kekerasan seksual, tetapi juga yang berdampak lebih besar pada orang-orang tertentu berdasarkan jenis kelamin atau gender mereka. 

Pengabaian terhadap status pekerja NGO sebagai buruh yang berhak atas perlindungan kerja tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga tidak adil mengingat tantangan besar yang mereka hadapi. Pekerja NGO kadang-kadang dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek atau kontrak yang dapat diperpanjang tanpa kepastian pekerjaan jangka panjang, yang membuat mereka rentan terhadap ketidakstabilan finansial dan profesional. Oleh karena itu, penting bagi setiap NGO untuk memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) atau peraturan kerja yang setara atau lebih tinggi dari standar hukum ketenagakerjaan nasional dan internasional.

Mengacu pada prinsip supremasi hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, setiap peraturan internal yang dibuat oleh organisasi berbadan hukum, termasuk NGO, harus tunduk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta undang-undang yang lebih tinggi seperti Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Peraturan internal tidak boleh menetapkan standar yang lebih rendah dari ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. 

Pemberi kerja, termasuk NGO, memiliki kewajiban untuk mematuhi standar minimum hak pekerja yang ditetapkan oleh undang-undang. Hak-hak dasar pekerja, seperti upah minimum, waktu kerja dan istirahat, cuti, dan jaminan sosial adalah hak minimum yang tidak boleh dikurangi oleh peraturan internal.

Tanggung Jawab Hukum dan Etis

Jika NGO membuat peraturan internal yang menetapkan standar lebih rendah daripada yang diatur undang-undang, mereka dapat menghadapi konsekuensi hukum, termasuk sanksi administratif atau tuntutan di pengadilan hubungan industrial. Meskipun pekerja yang bersangkutan telah menandatangani kontrak kerja yang dianggap tidak adil serta melanggar hukum ketenagakerjaan atau melanggar hak-hak pekerja seperti upah di bawah standar minimum, jam kerja yang tidak wajar, atau ketentuan yang merugikan pekerja secara tidak adil, maka surat kontrak tersebut dianggap tidak sah. Sekalipun surat kontrak maupun surat perjanjian kerja tersebut telah ditandatangani di atas materai oleh kedua belah pihak. Materai tidak dapat mengesahkan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum.

Dewan pengawas, maupun pihak manajemen NGO mesti berbenah dan mawas diri dalam hal aturan ketenagakerjaan. Pelanggaran terhadap hak-hak pekerja dapat merusak reputasi NGO, mengurangi kepercayaan donor, penerima manfaat, serta masyarakat luas. Bagi NGO yang berjuang untuk keadilan sosial dan hak asasi manusia, memperlakukan pekerja mereka dengan adil adalah tanggung jawab etis yang harus dijunjung tinggi.

Penting untuk mengakui status ini dan memastikan bahwa peraturan internal organisasi (SOP) kualitasnya tidak lebih rendah standar hukum yang berlaku. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa semua pekerja diperlakukan dengan adil dan mendapatkan perlindungan yang layak, terlepas dari sektor atau bentuk organisasi tempat mereka bekerja. 

Meningkatkan “bare minimum4  dalam operasional lembaga -terutama jika ingin isu yang selama ini diperjuangkan punya napas juang lebih panjang- adalah sebuah keharusan. Bisa mulai dari hal yang sederhana seperti pembela HAM yang kesehariannya  terlibat dalam advokasi HAM harus mendapatkan dukungan psikologis maupun program kesehatan mental yang memadai dari lembaga untuk menangani stres dan trauma yang mungkin mereka alami, bukan sekedar rekreasi tahunan bersama dengan teman satu kantor.

Secara rutin, NGO juga harus melakukan audit internal organisasi untuk memastikan kepatuhan terhadap hak-hak pekerja dan melaporkan hasil audit tersebut kepada pemangku kepentingan seperti board, donor, dan pengurus yayasan. Ini memang sulit dan tampak “tinggi”. Tetapi, bukankah selama ini kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh NGO juga selalu menuntut standar ideal dalam tata laksana aturan kenegaraan? 

Kita perlu menormalisasi bentuk ideal dalam hubungan kerja dan mulai membicarakan secara terbuka tentang situasi kerja di internal lembaga tanpa dianggap sedang “mengencingi” lembaga tempat kita mencari nafkah. Demokrasi di dalam lembaga perlu memberikan ruang otokritik demi memperbaiki kondisi kerja yang lebih manusiawi.

Kebijakan Donor Pengaruhi Kondisi Ketenagakerjaan NG

Keuangan NGO yang sepenuhnya bergantung pada donor sering kali menimbulkan situasi kerja tidak ideal bagi pekerjanya. Dana yang terbatas dari donor dapat memaksa NGO untuk memprioritaskan efisiensi biaya yang seringkali mengorbankan kesejahteraan pekerja. Misalnya, upah yang tidak memadai, beban kerja yang berlebihan baik secara fisik maupun administratif, atau kurangnya dukungan kesehatan mental bisa menjadi hasil dari tekanan untuk mengelola anggaran yang ketat.

Tanggung jawab tidak hanya terletak pada NGO, tetapi juga pada pihak donor dan konsultan mereka. Donor harus menyadari bahwa kondisi kerja yang buruk dapat mempengaruhi efektivitas dan kesehatan pekerja NGO, termasuk pembela HAM yang beroperasi di lingkungan yang penuh risiko. Oleh karena itu, donor dan konsultan perlu mempertimbangkan situasi kerja dalam penilaian dan dukungan mereka terhadap proyek-proyek yang mereka danai.

Donor dan konsultan harus memasukkan penilaian tentang kondisi kerja dan kepatuhan terhadap hak-hak ketenagakerjaan dalam evaluasi mereka sebelum menyetujui pendanaan. Ini termasuk menilai kebijakan internal NGO terkait upah, jam kerja, dan perlindungan kesejahteraan pekerja. Donor dapat memberikan dukungan teknis atau pelatihan kepada NGO untuk membantu mereka mengembangkan dan menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang adil. Ini bisa mencakup pelatihan tentang manajemen sumber daya manusia, kepatuhan hukum ketenagakerjaan, dan implementasi kebijakan anti-diskriminasi.

Donor harus mendorong NGO untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan perlakuan terhadap pekerja. Ini termasuk melaporkan kondisi kerja dan langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki situasi, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang efektif bagi pekerja.

Kerja sama antara Donor dan NGO perlu dilakukan agar dapat menetapkan standar minimum untuk kondisi kerja dan hak-hak pekerja. Relasi yang dibangun oleh Donor dan NGO hendaknya dibangun dengan prinsip kesetaraan sehingga lembaga dapat bernegosiasi mengenai situasi yang ada demi menghindari situasi kerja eksploitatif yang biasa dialami oleh pekerja NGO. 

Menghormati hak-hak pekerja adalah langkah krusial dalam memastikan bahwa NGO tetap berintegritas dan setia pada prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang mereka perjuangkan. 

Jadi, kapan Ari dan pekerja NGO lainnya tergerak untuk mulai berserikat? Kapan negara akan ratifikasi KILO 190?

  1. Pulau-pulau kecil mengacu pada Undang-Undang 27 tahun 2007 jo UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Aktivitas tambang di pulau-pulau kecil bukan hanya merusak daratan dan masyarakat sekitar, tetapi berdampak langsung pada ekosistem lautan. Baca lebih jauh dalam tautan ini https://www.ekuatorial.com/2023/12/negara-harus-lindungi-pulau-kecil-dari-pertambangan-yang-merusak/ ↩︎
  2. Sebuah tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik (termasuk data pribadi) terhadap seseorang individu atau organisasi. Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi termasuk mencari basis data yang tersedia untuk umum dan situs sosial media (seperti Facebook), meretas, dan rekayasa sosial. Tindakan ini erat terkait dengan vigilantisme internet dan hacktivisme. Baca lebih lanjut dalam tutan ini https://bpptik.kominfo.go.id/Publikasi/detail/apa-itu-doxxing-dan-dampaknya-pada-privasi-online ↩︎
  3. Segala bentuk kekerasan atau pelecehan yang terjadi di dunia kerja berdasarkan gender, termasuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, atau ekonomi yang dilakukan di tempat kerja atau terkait pekerjaan. Dalam konteks Konvensi ILO 190, GBVH sangat ditekankan sebagai bentuk pelanggaran serius yang membutuhkan perhatian khusus. ↩︎
  4. Mengacu pada segala sesuatu yang sudah ada di dalam undang-undang. Disebut bare minimum karena banyak perusahaan mencantumkan hal tersebut sebagai “benefit”. Misalnya seperti gaji setara dengan UMK, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, cuti melahirkan, dan perhitungan THR sesuai undang-undang. Kondisi bare minimum ini diperparah dengan hitungan gaji Indonesia yang mengacu pada “minimum wage” atau gaji minimum, bukan “living wage” atau gaji yang disesuaikan dengan biaya hidup layak harian. ↩︎