Search
Close this search box.

Orang-Orang Menyebutnya: “Romeo dan Juliet Kelas Pekerja”

Aku Miranti, usiaku 48 tahun saat ini. Selama 17 tahun lebih telah kuhabiskan masa hidupku untuk tinggal di kampung. Sedangkan, lebih dari 31 tahun aku hidup di kota perantauan, Tangerang. Kala usia 17 tahun, aku tinggal di daerah Kulon Progo. Kuputuskan untuk merantau menuju Kota “Seribu Industri” dengan harapan dapat memperbaiki ekonomi keluarga. Berbekal harapan itu, aku tinggalkan ibu di kampung. Kemudian, setelah menikah dan punya anak, aku titipkan anakku di kampung bersama ibu.

Namun, harapan untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga pelan-pelan harus aku lupakan, karena akhirnya aku sadar, berpuluh-puluh tahun menyandang status buruh, kehidupanku berjalan di tempat. Bukan karena aku atau suamiku malas bekerja, namun upah yang kami terima ternyata tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak.

Di pertengahan bulan November 2011, temanku Tati memberikan informasi, bahwa ada lowongan kerjaan di PT X. Sebuah pabrik yang memproduksi alas kaki merek Internasional 

“Mir … coba kamu melamar. Ada lowongan loh di pabrik itu,” ucapnya ketika kami sedang bersantai duduk di depan kontrakan.

Kebetulan saat itu aku sedang menganggur hampir setahun, setelah dipecat dari tempat kerjaku yang lama. Sebelumnya aku bekerja di PT Hasi, karena pabriknya mengalami gagal bayar atau pailit, lalu sekitar 14.000 karyawan dipecat. Aku mendapat pesangon sekitar delapan juta dengan masa kerja 17 tahun. Uang itu aku alokasi untuk membangun rumah di kampung, karena sebelumnya aku sudah nyicil atau menabung kayu, besi, bata, dan lainnya.

“Tapi kamu harus belajar dandan ya sembari jalan, karena kalau di pabrik itu diutamakan yang cantik. Apalagi ditambah badan tinggi, pasti diterima,” lanjut Tati.

Setelah aku pertimbangkan, akhirnya kuputuskan untuk melamar kerja di pabrik itu. Dua hari kemudian, dengan berpakaian hitam putih dan map kertas berwarna merah dengan berisi berkas lamaran kerja, aku melangkah pergi menuju perusahaan tersebut. Pukul 07.00 WIB aku telah tiba di depan pabrik bersama ratusan lamaran dengan pakaian yang sama denganku. 

Aku ingat ada sekitar 100 orang dikumpulkan di halaman pabrik. Mereka semua disuruh berbaris dengan jarak satu lengan. Semua berpakaian bawahan hitam dan atasan putih. Di depan kami seorang laki-laki paruh baya, berpakaian kemeja putih berkacamata, dari depan celingak-celinguk, entah mencari siapa. Dari informasi sesama pelamar aku tahu, bahwa nama orang tersebut Bapak Yoni. Dialah yang berkuasa meluluskan pelamar.

Pak Yoni terlihat menghampiri beberapa pelamar dan menyuruhnya untuk berbaris ke arah depan. Rata-rata mereka merupakan perempuan muda, berkulit putih, rambut panjang, langsing, dan penampilannya menarik. Sementara itu, dia menatapku dari arah depan. Mendadak aku langsung teringat apa yang pernah dikatakan oleh Tati sebelum melamar kerja di perusahaan ini: “Melamar ke pabrik ini harus cantik.” 

“Kalau yang diterima yang cantik-cantik dan muda, apa kabar aku?” pikirku dalam hati.

Seletalah hampir 40 menit menunggu akhirnya namaku dipanggil, “Miranti,” ucap Pak Yoni sambil menulis sesuatu di kertas yang dia pegang sejak dari tadi. “Alhamdulillah,” lega rasanya walaupun baru tahap awal.

Kami kemudian berpindah menuju lantai dua. Tempat tersebut seperti ruang yang difungsikan untuk pertemuan. Di ruang itu telah banyak pelamar dengan pakaian sama sepertiku hitam dan putih telah berkumpul. Rupanya mereka sedang mengantri untuk pemeriksaan berkas. Pada tahap ini aku tidak terlalu gugup, karena berkasku telah lengkap semua.

“Berkasnya lengkap semua ya Bu, setelah ini nanti Ibu ke sebelah sana,” ucap perempuan berwajah oriental yang tadi memeriksa berkasku serya tangannya menunjukkan arah. Setelah itu aku melangkah pergi bersama para pelamar yang telah lulus pemberkasan. Selanjutnya aku diminta untuk melakukan tes kesehatan. Kini lokasinya berada di bagian area kantor pusat pabrik.

Dengan mencarter mobil angkot, aku bersama sepuluh pelamar berangkat ke PT ABC yang merupakan perusahaan induk tempat aku melamar kerja di PT X. Tidak sampai 30 menit, kami sudah berada di poliklinik perusahaan. Tes buta warna dan rontgen aku lalui dengan baik dan dinyatakan lulus. Langkah selanjutnya kami observasi lapangan. Karena aku berpengalaman dalam mengoperasikan mesin Toe Lasting, sehingga aku mendapatkan pengujian mengoperasikan mesin tersebut. Hasilnya aku lulus. Setelah itu aku diminta untuk menunggu di rumah. Manajemen katanya akan mengabarkan kembali.

Setiap hari aku menunggu kabar itu dan ponsel tidak pernah lepas dari tanganku. Satu minggu berlalu, harapanku mendapat panggilan kerja mulai hilang. Hari itu aku begitu jenuh dengan rutinitas sehari-hari, kuputuskan untuk pulang ke kampung. Mungkin, dengan menengok anakku, Alfie, aku bisa mendapatkan energi baru.

Tanpa berpikir panjang, aku pergi menuju agen penjualan tiket bus di terminal daerah Jatake. Sebelum ke agen tiket, aku membeli oleh-oleh makanan kesukaan untuk anakku seperti kue donat, lapis legit, bolu, dan makanan ringan lainnya.

Setelah mendapatkan tiket berangkat, pada saat menunggu angkutan kota menuju ke kontrakan, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal menelponku, karena penasaran segera aku pencet tombol hijau, dari ujung telepon terdengar suara, “Apakah benar ini Miranti?” 

“Iya, benar. Ada apa, Bu?” balaskku.

“Mba Miranti saya Heri dari PT ABC, Mbak saya mau memberitahukan, bahwa Mbak Miranti dinyatakan lulus, dan besok jam 07.00 WIB Mbak diminta datang ke pabrik untuk mulai bekerja,” panjang lebar penjelas dari laki-laki dengan khas suara bariton.

Seketika tubuhku bergetar. Dalam hati bergumam dan berkata, “Akhirnya aku mendapat panggilan kerja juga.”

Kabar itu membuatku berada di antara dilema; antara sedih atau senang. Sedih karena sudah membeli tiket dan oleh-oleh untuk Alfie, namun ternyata tidak jadi pulang kampung. Senang karena mendapatkan pekerjaan kembali, yang artinya ekonomi rumah tangga akan segera membaik.

Sontak kabar baik itu langsung kusampaikan kepada, Suamiku, Milano. Jariku mencari nama kontak “Ayang Beib”. Dari ujung ponsel terdengar suara, “Halo, Ma … ada apa?” tanya Milano. “Sudah dapat belum tiketnya?” tanya suamiku kembali.

“Aku tidak jadi pulang,” kataku. “Aku baru saja mendapat telepon dari pabrik tempat aku melamar kemarin, besok katanya langsung kerja,” jelasku.

“Gimana ya, Mas? Datang enggak?” tanyaku meminta pendapat sembari bibirku miring ke bawah dan alisku berkerut.

“Ini sudah banyak beli oleh-oleh, tapi mendapat panggilan kerja. Enaknya gimana ya, Mas?” cecarku kepada Milano.

“Ya … terserah kamu. Mau pulang ya terserah … kalau mau kerja ya terserah … kalau mau kerja jangan lupa ngabarin orang yang di rumah. Bilang kalau enggak jadi pulang, karena ada panggilan kerja, biar Alfie juga enggak menunggu,” balas Milano.

Akhirnya aku putar balik naik angkot kembali menuju rumah. Aneka oleh-oleh yang sebelumnya telah kubeli untuk di bawa pulang kampung, saat itu juga kubagikan kepada anak-anak yang tinggal di sekitar rumah kontrakan.

Keesokan harinya, 29 November 2009, aku telah resmi bekerja di PT ABC dengan status karyawan training selama tiga bulan. Aku ditempatkan pada bagian assembling atau perakitan sepatu, sebab aku memiliki keterampilan memegang mesin Toe Lasting atau Toelast.

Namun, aku merasa situasi kerja baru ini tidak nyaman. Perasaan tidak enak, merasa terasing karena teman kerja tidak ramah. Sebagai orang baru bekerja, aku berusaha mengakrabkan diri dengan mereka yang sudah lama bekerja. Namun, aku masih juga tidak diberikan kesempatan untuk memegang mesin Toelast. Alhasil, peranku hanya sebagai tenaga bantuan; menggantikan perasaan seseorang apabila memasuki waktu shalat. Di kemudian hari, aku paham dengan sikap teman kerjaku waktu itu. Hal ini ada kaitannya dengan status kontrak kerja. Orang-orang yang memperlakukanku tidak nyaman sebagian besar itu adalah buruh kontrak tiga bulanan. Sehingga kalau ada buruh baru, dianggap sebagai saingan.

Selesai masa pelatihan atau training, atasanku menganggap kinerjaku baik. Aku diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, aku sering dipindah-pindah kerjakan istilahnya dipinjamkan ke line produksi lain. Peranku masih tetap sama: sebagai tenaga pengganti saat ada buruh yang tidak masuk kerja. Karena aku bukan yang memegang mesin utama, sehingga posisiku selalu menjadi buruh cadangan. Dampaknya aku sering dipinjamkan ke line produksi lain untuk menggantikan buruh yang juga memegang mesin Toe Lasting ketika tidak masuk kerja.

Kondisi Kerja Penuh Teror

Pada waktu itu, bekerja di pabrik manufaktur seperti teror. Aku merasakan situasi kerja penuh kekerasan. Masih banyak atasan di tempat kerjaku yang menggunakan bahasa kasar “bego lu”, “kamu bodoh”, “kamu lemot”, dan lain sebagainya, adalah kata-kata yang sering diteriakan atasan kerjaku ketika buruh membuat kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.

Suatu hari pada saat jam kerja kami dikumpulkan di area finishing, karena tidak berhasil mencapai target. Di depan kami berdiri kepala bagian dengan tatapan tajam, wajah memerah, dan tangan berkacak pinggang. Dia memaki kami dengan dengan kata-kata kasar. 

“Kalian ini seperti ayam yang sudah divaksinasi, tapi tidak bisa bertelur banyak. Lebih baik kalian keluar, masih banyak orang yang bisa bekerja di luar sana, tolol kalian semua,” hardiknya dengan kata-kata kasar.

Ketika mendengar ucapan itu, kepalaku hanya tertunduk, namun kedua tanganku tetap mengepal. Dalam hati, aku bergumam, “Keringat sudah sampai ke pantat tapi masih saja dimaki-maki. Brengsek.”

Padahal kami semua merasa telah bekerja dengan maksimal. Bahkan, banyak teman kerjaku yang sebenarnya sakit, tapi memaksakan diri agar tetap masuk kerja. Namun, sepertinya hal itu semua tidak cukup bagi atasanku.

Ketika salah seorang buruh tidak masuk kerja karena sakit, kami harus bekerja dengan jam kerja lebih panjang. Lantaran, target kerja memproduksi sebanyak 220 pasang sepatu, yang semestinya dikerjakan untuk 60 orang, nyatanya harus kami pikul dengan hanya 40 orang. Otomatis kami harus mengorbankan waktu istirahat kami. Dengan kondisi itu tentu sulit untuk mencapai target.

Di atas kertas, jam kerjaku dimulai sejak pukul 7:00 WIB dan jam pulang pukul 16.00 WIB. Namun, pada praktiknya, aku baru kembali pulang pada pukul 21:00 WIB. Itupun rata-rata waktu pulang kerja pada hari Senin sampai Kamis. Sementara, pada hari Jumat dan Sabtu, biasanya aku pulang hingga tengah malam, paling lambat pukul 23:00 WIB.

Aku ingat pernah suatu hari pabrik akan melakukan pengiriman barang. Kami para buruh garmen menyebutnya “jam ekspor”. Saat jam tersebut barang yang dikirim masih kurang lima pasang, akhirnya kami harus melakukan lembur sampai pukul 23.00 WIB. Keterlambatan itu juga disebabkan karena harus menunggu komponen sepatu, yakni bagian outsole dari pabrik lain yang datang telat. Mandorku, sebut saja Agus berkat, “Oni barang sudah ditunggu kontainer pengiriman, udah ukuran utama (main size) saja yang dibuat, karena mau ekspor”. Tidak tahunya ada pengecekan dan kebetulan saja ketahuan karena laste sama upper bagian sepatu ukurannya tidak sama. Salah seorang supervisor mengamuk, kami didamprat habis-habisan. Dia mengamuk sambil membanting ponsel bermerek Esia hingga hancur.

Karena jam pulang kerjaku yang memanjang, suamiku yang biasanya menjemputku saat pulang kerja, mondar-mandir di sekitar lingkungan pabrik. Pasalnya, dia biasa menjemputku pada pukul 20.00 WIB. Sementara, aku juga telah mengabarkan dia, bahwa aku pulang jam 20.30 WIB. Celaka rupanya bagian outsole belum datang. Sementara itu, beberapa orang mengatakan, kemungkinan kami pulang jam 22.00 WIB. 

Suamiku menelpon lagi sambil marah-marah. Dia bertanya kapan aku pulang, “Enggak usah pulang sekalian, pabrik enggak jelas sudah sekalian aja pulang subuh!” amuk suamiku. Keesokan harinya, aku baru tahu, bahwa bukan hanya suamiku yang mengamuk, melainkan suami yang biasa menjemput istrinya pulang kerja juga pada murka.

Memasuki tanggal-tanggal ekspor biasanya menjelang akhir bulan, buruh akan dipaksa bekerja lebih cepat. Terutama untuk line-line produksi yang mengerjakan sepatu yang akan kirim untuk tujuan ekspor. Namun, bila jumlah produksi belum tercapai, biasanya pemberlakukan lembur atau perpanjangan jam kerja terjadi.

Apabila ada lembur, upah yang diterima memang lumayan. Saat itu upah pokok Rp 1.600.000. Apabila ditambah dengan lembur, maka dalam satu bulan, biasanya kami mengantongi upah sebesar Rp 3.000.000 sampai dengan Rp3,500.000 juta per bulan. Aku senang dengan upah yang besar, tapi konsekuensinya badanku remuk. Karena itu hampir setiap hari aku minum Neo Remasil dan minuman suplemen.

Kembali pada cerita situasi kerja dengan penuh kekerasan. Pernah ada kejadian yang masih terngiang hingga saat ini. Saat itu aku dipindahkan ke line produksi bagian lantai bawah. Sebagai informasi pabrik tempatku bekerja terdiri dari dua lantai.

Saat itu aku sedang berkonsentrasi penuh dalam bekerja, tetiba terdengar suara keras, “Duaaarrr….” Sebuah sepatu dibanting keras hingga suaranya menggema memenuhi isi ruangan, menyebabkan seluruh orang yang berada di dalam gedung menoleh kiri-kanan mencari sumber suara. Saat itu, semua mata tertuju padaku.

Aku tersentak, seketika itu juga tangaku langsung mematikan mesin. Di depanku telah berdiri seorang manajer produksi. Tidak ada senyum di wajahnya, “Kerjamu tidak beres, sepatumu miring!” hardiknya sambil melotot dan suaranya seperti memecahkan gendang telinga.

Tanganku gemetar mengambil sepatu yang dia banting. Aku perhatikan dengan cermat tidak miring. Agar yakin aku bertanya kepada Quality Control (QC), “Apakah sepatu ini miring?” sambil memeriksa sepatu yang tadi dibanting. “Tidak, ini tidak miring,” jawab QC keliling.

Karena kuyakin tidak salah, maka kuputuskan untuk menjawab makian itu, “Bapak, sepatunya tidak miring, tapi tinggi rendah tumitnya berbeda,” ucapku dengan gugup dan wajah memerah karena malu.

Namun, aku kembali dibentak, “Kamu selalu membangkang saat ditegur.” Aku terdiam. Mataku sudah berkaca-kaca, terasa air mata sudah memenuhi mataku. Malu, marah, karena semua mata satu gedung tertuju padaku. Aku sudah tidak bisa melihat sepatu dengan jelas, karena mataku sudah kabur dengan genangan air mata.

Aku usap ujung mataku kemudian lanjut bekerja, meskipun urat leherku menonjol dan pipiku basah. Waktu itu aku belum memiliki keberanian untuk membantah. Aku hanya bisa menangis selama tiga jam.

Dengan sikap tanpa dosa, atasanku malah meledek ketika aku menangis. Tangisku semakin menjadi, “Enteng sekali dia meledek, setelah aku dimaki dan membuat semua mata satu gedung tertuju padaku,” ucapku membatin. 

“Kenapa sih? Kasian Miranti yah,” bisik-bisik teman kerjaku yang merasa kasihan padaku.

Ada rasa sakit hati karena dimaki-maki, padahal aku merasa tidak salah. Ada rasa malu terhadap teman sekerja. Seolah aku tidak bisa bekerja. Mentalku terguncang.

Setiap pulang kerja dan hendak berangkat kerja, aku selalu menangis. Aku merasa tertekan. Hingga akhirnya aku enggan berangkat kerja, tapi aku butuh uang, mau tidak mau aku harus berangkat bekerja.

Waktu terus berjalan hingga memasuki tahun 2011 dan saat itu aku mulai menormalisasi semua bentuk-bentuk kekerasan yang kuterima selama bekerja. Bentakan, kata-kata kasar, bagian upper sepatu yang dilempar kepadaku, semua sudah menjadi keseharian yang kualami dan menjadi hal biasa yang terjadi di tempat kerja.

Bergabung dengan Serikat Buruh

Aku ingat tahun 2011 itu ada suatu peristiwa penting. Tepatnya, ketika terjadi pemilihan ketua serikat buruh di tempat kerjaku. Sebenarnya, menurut rekan kerjaku, sudah ada serikat. Namun, serikat buruh tersebut tidak pernah mewakili aspirasi buruh “Serikatnya boneka, nurut sama perusahaan,” kata Eni, salah seorang rekan kerjaku, waktu kami ngobrol soal kondisi kerja.

Waktu itu, di papan pengumuman setiap line produksi, ditempel foto dari calon-calon ketua serikat. Ada sekitar enam foto calon ketua, lima di antaranya laki-laki dan satu perempuan. Dari semua itu tidak ada satupun yang aku kenal. “Nomor tiga tuh ketua serikat yang sekarang, enggak usah dipilih lagi, dia mah orang perusahaan,” bisik-bisik teman line produksiku, ketika melihat foto-foto calon ketua.

“Nih nomor empat aja, walaupun perempuan tapi dia berani, vokal,“ lanjut Herman, rekan kerjaku yang lainnya, sambil menunjuk calon perempuan satu-satunya dari deretan foto itu.

Sayangnya calon perempuan tunggal tersebut kalah waktu pemilihan suara, karena telah terjadi kecurangan. Pada saat panitia pemilihan suara berkeliling line produksi membawa kotak suara, yang juga diikuti oleh direktur produksi, dan manager-manager, mereka semua mencoba mempengaruhi pemilih. Caranya dengan membisikan para pemilih, “Kamu pilih nomor tiga saja, Pak Anto. Jangan pilih Diah.” 

Anto adalah ketua yang waktu itu menjabat, dan Diah adalah calon perempuan satu-satunya, yang kata teman-temanku, dia sosok yang berani dan vokal. Namun sayangnya posisi ketua dimenangkan oleh Anto. Obrolan kecurangan pemilihan ketua serikat buruh berhenti dengan sendirinya.

Memasuki akhir tahun isu kenaikan upah mulai ramai. Di bulan Januari 2012 berhembus kabar kalau serikat buruh tempat kerjaku menyetujui kenaikan upah sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Banten sebelum dilakukan revisi. Singkatnya SK Gubernur tersebut merugikan kami para kaum buruh.

Di awal tahun yang sama pula, beredar gosip kalau ada sekelompok orang yang ingin mendirikan serikat buruh baru. Kabar itu mulai santer terdengar di antara kalangan buruh. Menurut informasi serikat buruh baru tersebut didirikan, karena kecewa dengan serikat buruh yang ada saat ini. Kasus yang melatarbelakangi karena pimpinan serikat buruh saat itu telah menyetujui adanya penangguhan upah.

Ketika aku konfirmasi dengan temanku, yakni Asep, dia bilang, “Nih saya lagi merintis buat serikat buruh, di pabrik ini udah enggak bener nih. Dukung serikat baru, karena serikat yang ada enggak pernah membela buru. Bantu cari anggota agar jadi mayoritas,” ucapnya.

Informasi serikat baru itu membuatku penasaran. Hingga pada suatu hari ketika aku diajak Asep pergi ke sebuah kantor sekretariat. Namun, saat itu orang hanya menyebutnya dengan istilah “Sekre”. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk ikut dengan Asep pergi. Kala itu, dalam hatiku hanya bertanya-tanya, apa itu sekret? Aku mengikuti orang-orang yang akan melakukan pertemuan. Setelah sampai di sekret, aku baru mengerti, ternyata sekret itu adalah tempat berkumpul, berdiskusi, edukasi, rapat-rapat, dan lain-lain.

Perjalanan sepuluh menit dari pabrik. Kami berboncengan motor. Kantor sekretariat itu berukuran 3×4 meter dengan teras berukuran satu meter. Saat itu sekitar 15 orang hadir. Karena ruangan tersebut sempit, alhasil peserta yang datang harus mengambil posisi duduk hingga ke teras halaman rumah. Sementara, saat itu aku yang hadir hanya bisa duduk di bagian luar ruangan, sembari mendengarkan topik yang dibicarakan. Aku tidak mau duduk di depan, karena selalu takut apabila diminta untuk berbicara. 

Dari luar ruangan aku mendengar sayup-sayup obrolan sekelompok orang. Mereka membahas tentang pelanggaran-pelanggaran yang ada di dalam pabrik. Persoalan-persoalan yang terjadi di dalam pabrik dan langkah apa yang harus dilakukan.

Rutinitas yang dilakukan oleh kelompok diskusi tersebut membuatku tertarik, akhirnya aku jadi rajin mengikuti diskusi. Hampir setiap hari aku ikut kecuali kalau lembur. Mulailah aku bergabung dan mengisi formulir keanggotaan serikat buruh tersebut. Alasanku menjadi anggota, karena aku merasakan manfaat dari diskusi dan pendidikan yang diadakan. Aku mendapatkan ilmu dan keberanian untuk berargumentasi dengan atasan kerjaku

Akhirnya serikat baru berdiri. Perlakuan yang tidak adil dan kondisi kerja yang buruk adalah salah satu yang menjadi latar belakang berdirinya serikat baru. Namun, sayang sekali, satu hari setelah deklarasi, setelah surat pemberitahuan pendirian serikat dikirimkan, sebanyak delapan pengurus serikat dipecat secara sepihak. 

Dari delapan orang hanya satu orang yang bertahan berjuang yaitu ketua. Selama proses PHK jalan, ketua membentuk kembali pengurus baru. Asep dan kawan-kawan lain yang masih bekerja akhirnya menjadi pengurus baru.

Setelah Asep menjadi pengurus, aku semakin aktif di organisasi, mengikuti pendidikan, diskusi, dan rapat-rapat kerja organisasi. Dari diskusi dan pendidikan itu, akhirnya kami sepakat menuntut perusahaan agar membayarkan uang kekurangan upah atau uang rapelan. Selain menuntut uang rapelan, tuntutan lain adalah uang makan, kebebasan berorganisasi, dan kenyamanan kerja.

Sayangnya perusahaan tidak mau menyambut ajakan berunding dari kami. Pada 12 Juli 2012 ketika pihak perusahaan membatalkan agenda bipartit. Saat itulah kami semakin marah.

Pagi itu perasaanku tidak keruan menunggu waktu aksi demonstrasi, tetiba terdengar suara dentuman yang keras “Duar.” Suara itu adalah bantingan sepatu, sekaligus merupakan tanda aksi protes dimulai. Aku giring teman-teman line produksiku untuk menghentikan kerja dan menyuruh mereka untuk keluar dari ruang produksi. 

Di luar hanya ada aku dan salah seorang rekan kerjaku, Eni. Dia terus berteriak “Hidup buruh, kita di sini menuntut hak!” Saat itu perasaanku tidak menentu, gemetar, keringat dingin, dan panik. Kaki terasa tidak menapak tanah, karena ini pengalaman pertama memimpin aksi protes. Ribuan pasang mata menatap aku dan Eni.

“Kawan-kawan, hari ini kita sedang berjuang untuk hak.” Ucapku kepada massa aksi. Sembari berjalan ke kanan dan ke kiri, maju dan mundur di hadapan kawan-kawan. Sementara, sikapku terus mengepalkan tangan kiri dan mengucap, “Hidup buruh, hidup buruh.”

Itulah pertama kalinya aku terlibat dalam gerakan aksi massa di dalam pabrik dan juga aktif di dalam organisasi serikat buruh.

Kami melakukan pemogokan selama empat hari. Pada hari kelima, ketika kami mau masuk kerja, pihak perusahaan menolak dengan dalih mangkir kerja. Sikap perusahaan semakin arogan dengan memecat sejumlah buruh yang mengikuti aksi protes saat itu. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung yaitu 1.300 buruh, termasuk di dalamnya aku. Sebesar sembilan puluh peserta buruh yang dipecat itu adalah perempuan. Mereka dipecat tanpa uang pesangon. 

Pemecatan itu menjadi titik balik buatku, kemarahan dan kekecewaan membangkitkanku untuk berjuang. Dari situlah aku memutuskan untuk semakin aktif di kegiatan organisasi serikat buruh. Selama berkasus aku putuskan untuk mengikuti semua kegiatan organisasi. Dari rumah berangkat pagi dan pulang malam.

Setiap hari bangun tidur 04.30 WIB. Aku tidak sempat untuk memasak. Paling hanya membeli nasi uduk dekat rumah untuk sarapan. Sementara, setiap aku pergi meninggalkan rumah, suamiku masih tidur. Setiap jam 06.00 WIB aku sudah di depan pabrik, lalu kembali pulang ke rumah sekitar jam 23.00 WIB atau 01:00 WIB. Begitu terus pola yang aku lakukan.

Rupanya keaktifanku di organisasi serikat buruh membuat suamiku marah. Dia merasa aku lebih mengutamakan organisasi daripada urusan keluarga. Dia juga mengatakan aku tidak memberikan perhatian lagi. Memang kuakui kegiatan serikat buruh padat. Senin sampai Jumat, kami selalu melakukan aksi massa. Pada hari Sabtu dan Minggu kami gunakan untuk rapat atau konsolidasi.

Hampir setiap hari aku pulang malam. Beruntung kawan-kawan di organisasi memahami kondisiku. Setiap pulang malam, aku diantar bergantian oleh kawan-kawan organisasi yang laki-laki. Karena tidak mau jadi masalah dengan suamiku, setiap teman yang mengantarkan pulang, aku selalu meminta mereka untuk mengantarku sampai depan pintu. Aku juga meminta mereka masuk ke kontrakan sekedar untuk ngopi dan aku memperkenalkan mereka kepada suami.

Aku ingat waktu itu tiga hari sebelum lebaran. Mungkin jam 20.00 WIB kami masih rapat organisasi. Di luar suamiku sudah menggeber-geber sepeda motor sambil marah-marah. Dia juga berkata “Mau pulang enggak?” Maklum saat itu sudah malam. Dan tiga hari lagi kami akan pulang kampung. Aku minta salah seorang kawan untuk mengajak ngobrol suamiku agar tenang. Namun, suamiku keburu pergi sebelum temanku menghampirinya.

Setelah itu aku diantarkan pulang oleh salah seorang kawan organisasi. Kami sudah sepakat akan mengantarku sampai rumah. Sesampainya di rumah temanku berbicara dengan suamiku. “Mengantar Miranti sampai rumah takut ada apa-apa di jalan.” Saat itu dia masuk ke dalam rumah sembari mengopi dengan suamiku. Dia juga membantuku untuk menjelaskan tentang alasan kami berjuang dan juga kenapa kami selalu pulang malam. Begitulah cara kawan-kawanku untuk meyakinkan suamiku, bahwa aku berada di jalan yang benar. Mereka tidak pernah lelah untuk meyakinkan suamiku setiap kali mengantarkanku pulang ke rumah. 

Waktu terus berlalu, perjuangan terus berjalan, aksi-aksi, pertemuan-pertemuan, kampanye-kampanye, sampai mendatangi instansi pemerintah, kantor pemilik brand internasional baik di Tangerang hingga Jakarta, semua telah kami lakukan.

Sementara, sekretariat semakin hidup. Satu minggu sekali ada pertemuan dengan Koordinator Lapangan (Korlap). Setiap hari Rabu kami belajar mengetik dan membuat surat. Aku dan kawan-kawan juga belajar cara memimpin rapat, memimpin aksi massa, dan orasi.

Aku ingat pengalaman pertamaku ketika berorasi saat tugas aksi massa bergilir. Di organisasiku aksi massa bergilir ini dikenal dengan istilah aksi piket. Saat itu kami melakukan aksi massa di Bundaran Strada, Tangerang. Aksi piket tersebut dilakukan pagi dan sore hari. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku ketika itu antara: gugup dan malu. Sebab itu merupakan orasi pertamaku. Dengan memegang alat pengeras suara, aku menyampaikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan; tentang asal mula kami melakukan aksi protes.

Saat itu posisiku adalah Korlap wilayah Taman Cibodas. Jadi sejak kami resmi dipecat, organisasiku merubah sistem pengorganisasiannya menjadi pengorganisasian berbasis wilayah. Dari 1.300 buruh yang dipecat dikelompokan berdasarkan tempat tinggalnya.

Satu wilayah terdiri dari kelompok-kelompok kecil dengan jumlah antara 7-11 orang. Setiap wilayah dipimpin oleh satu orang koordinator wilayah. Aku bertanggung jawab memimpin wilayah Taman Cibodas. Aku memegang 90 orang. Jadi setiap ada informasi yang dikeluarkan oleh organisasi, maka aku harus mengirimkan Short Message Service (SMS). Saat itu aku menggunakan ponsel dengan merek Nokia 310 polyphonic, lantaran pada tahun itu alat komunikasi yang ada hanyalah SMS. Dengan begitu, otomatis informasi yang didapat dari organisasi harus disebar kepada 90 orang anggota. Sampai sejauh ini, belum ada persoalan dengan pulsa, karena aku masih memiliki tabungan.

Namun, uang tabungan yang ada perlahan semakin menipis, sedangkan kasus belum ada titik terang. Ada perasaan lelah, ada perasaan senang dan bangga, ada juga perasaan kalut. Semua rasa bercampur aduk. Di tengah perjuangan menuntut keadilan, kami harus menghadapi pemerintah dan pengusaha yang bebal dan tidak berpihak kepada kami rakyat kecil.

Sementara, di rumah, aku harus menghadapi pasanganku yang selalu marah. Sedangkan, di lingkungan organisasi sendiri, kami harus berhadapan dengan perilaku saling cibir, berkelahi, cekcok, intrik, dan kerumitan lainnya. 

“Makanya kerja aja yang benar, enggak usah banyak nuntut, beraskan sudah habis dan ini malah di-PHK, enggak bakalan menang sampai kemanapun.” Semua cibiran-cibiran itulah yang mewarnai perjuanganku.

Kesibukanku di organisasi, tidak mendapatkan dukungan dari keluarga, terutama suamiku, ini menjadi masalah baru buatku. Hari-hari kami diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran yang tidak ada penyelesaian.

“Rapat-rapat terus, apa sih yang dibahas? setiap hari rapat-rapat terus kayak enggak punya keluarga aja, enggak mikir kalau sudah berumah tangga,” sentak suamiku ketika aku pulang di suatu malam.

Lah, Papakan tahu saat ini Mama dipecat dari pabrik dan tidak dapat pesangon, upahnya juga tidak dibayarkan, kalau bukan aku yang berjuang siapa yang mau memperjuangkan?” jawabku mencoba sabar menghadapi kemarahannya.

“Alah! percuma pulang malam terus, kapan akan dapat pesangon? kapan pesangonnya cair?“ lanjutnya mencecar dengan nada tinggi.

“Ya ini sedang berjuang! Alahhhhh …” balasku dengan nada tinggi.

“Enggak mungkin bisa! yang ada cuma dapet capek doang!” timpal suamiku. Akhirnya aku pun terdiam, karena malas berdebat terus.

Kurangnya perhatian yang kuberikan kepadanya, karena aku sangat aktif di serikat, menjadi alasan suamiku mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Padahal aku tidak pernah melalaikan kewajibanku, sebelum pergi aku selalu memastikan pekerjaan rumah beres.

Pikiranku terkuras habis. Juga bercabang dengan banyak hal. Tekanan mental menyergap dari segala arah. Marah, sakit hati, dan segala perasaan bercampur aduk. Begitu berat ujian yang harus aku hadapi dalam hati. 

“Ya Allah … begini amat ya,” ucapku sambil mengelus dada, tak terasa pipiku pun basah. 

“Kapan semua ini akan selesai? sampai kapan ini akan berakhir?” Adalah monolog yang sering aku ucapkan, ketika hendak memejamkan mata di kala malam.

Tabungan semakin menipis, enam bulan kasus berjalan, dengan berat hati aku memutuskan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar yang ada di Tangerang juga. Tentu untuk menyambung hidup, menghidupi Alfie, dan tetap bisa terlibat aktif di dalam gerakan serikat buruh.

Aku mulai bekerja di pabrik Y, yang juga memproduksi alas kaki merek internasional. Setiap hari rutinitasku berangkat kerja pukul 05.30 WIB, sebab perjalanan memakan waktu lebih dari satu jam. Aku harus menaiki angkutan umum dan melalui kemacetan jalan. Masuk kerja pada pukul 07.30 WIB dan pulang pada pukul 16.30 WIB. Setelah itu, aku lanjut mengikuti kegiatan diskusi di kantor serikat atau membahas program kerja. Setelah itu aku kembali pulang ke kontrakan pukul 23.00 WIB.

Setiap pulang dari pertemuan serikat buruh, aku meluangkan waktu sebentar, walaupun hanya lima menit, sebelum tidur, untuk menceritakan tentang perjuangan yang aku ikuti kepada suami. Entah, dia mau mendengar atau tidak, yang penting aku bicara, syukur kalau didengar.

“Mas, tadi rapat membahas. bahwa kami akan melakukan kampanye, aksi piket, dan juga nanti akan mendatangi instansi pemerintah, agar perusahaan segera memberikan pesangon. Karena kalau kita hanya diam saja pabrik senang banget. Apalagi sekarang pihak HRD udah mulai datang ke rumah-rumah buruh loh secara langsung. Ini artinya pihak perusahaan udah mulai gerah atas aksi-aksi kami,” paparku kepadanya. Namun, dia hanya diam saja dan akhirnya kami sama-sama tertidur.

Penyadaran terhadap suami terus-menerus kulakukan. Hal itu aku lakukan selama dua tahun. Kuharap pasangan hidupku paham arti sebuah perjuangan.

Meskipun sudah kulakukan dengan maksimal, pernah hubungan pernikahanku tetap berada di ujung perceraian. Lagi-lagi penyebabnya karena aku pergi pagi dan pulang larut malam. 

Hingga suamiku begitu marah dan tercetus kalimat, “Sekarang aku serahkan ke kamu, mau pilih keluarga atau pilih serikat?”

“Tidak ada salah satu yang harus kupilih, karena bagiku semua penting. Baik keluarga maupun berorganisasi,” jawabku.

“Okey, hari ini Papa belum terkena masalah di dalam pabrik, sekarang Papa masih nyaman, tapi ingat suatu saat nanti Papa ada masalah, pasti Papa teriak meminta bantuan ke Mama. Camkan itu!” sambungku lagi.

Mendadak situasi berubah hening. Perseteruan berhenti. Di pojok kontrakan, beberapa ibu yang tidak bekerja berkumpul.

“Eh, tau enggak sih itu … yang ngontrak paling ujung, tiap hari pulang malam terus. Alasannya rapat, tapi kok tiap hari dan pulangnya di antar gonta-ganti cowok.”

“Kok suaminya diam aja ya?”

“Kasian, suaminya enggak diurusin.”

Pergunjingan tetangga semakin hari semakin panas. Padahal, orang-orang hanya bisa menilai dari luarnya saja, tanpa mencari tahu akar permasalahannya. Dari situ aku sadar, selain karena faktor keaktifanku di organisasi, gunjingan tetangga juga menjadi salah satu pemicu pertengkaran kami.

Orang-Orang Menyebutnya: “Romeo dan Juliet Kelas Pekerja”

Beberapa bulan dan tahun kemudian berlalu. Kini memasuki tahun 2015. Di saat aku perjalanan pulang usai bekerja. Tetiba ponselku berdering. Panggilan itu berasal suamiku. Dia mengajak diskusi atas masalah yang dihadapi di pabriknya.

“Maaaa … Mama di mana? Penting nih, pingin ngobrol …,” sebuah pesan pendek mendarat ponselku. Tak lama panggilan telepon datang. Ponselku berdering terlihat panggilan telepon genggam dari suamiku.

“Iya … ada apa? Apa perlu aku ke pabrik? tanyaku.

“Jangan, nanti aja di rumah diskusinya,” balas Milano singkat.

Rupanya pabrik tempat suamiku bekerja sedang ada masalah. Setelah kami diskusi akhirnya suamiku membentuk organisasi serikat buruh di pabrik tempatnya bekerja. Suamiku menjabat sebagai Kepala Departemen Advokasi. Setelah berorganisasi pelan-pelan suamiku memahami kesibukanku selama ini.

Dari yang tadinya anti dan menentangku untuk aktif di organisasi, saat itu juga dia menjadi pendukung setiaku untuk terus aktif berorganisasi. Suamiku dan teman-temannya di organisasi yang baru mereka buat, juga ikut membantu kami. Terutama ketika aksi massa yang dilakukan membutuhkan alat peraga kampanye. Mereka dengan senang menyiapkan perlengkapan aksi kami, seperti bola raksasa, miniatur sepatu, dan lain sebagainya. Selain itu dia juga beberapa kali terlibat sebagai pemain teatrikal dalam aksi massa yang kami lakukan. Juga, sesekali sebagai tandemku menjadi dinamisator lapangan.

Aku beruntung dengan perubahan suamiku, setiap ada pertemuan di sekre atau di wilayah, dia begitu rajin mengantarku untuk hadir dipertemuan. Kalau kami sedang rapat dia juga setia menungguku hingga terkantuk-kantuk. Ketika kami sedang jenuh, dia menghibur kami dengan cara bermain gitar untuk mengiringi kami bernyanyi. Maklum, suamiku pemain gitar handal! Hingga kemudian beberapa kawan organisasi memberi julukan kami: “Romeo dan Juliet Kelas Pekerja.”

Melalui tulisan ini aku mau bilang terimakasih kepada suamiku yang selama aku berkasus dan mempunyai tanggung jawab sebagai pimpinan organisasi mendukungku dengan penuh cinta, sehingga aku mampu menyelesaikan tanggung jawabku dengan paripurna. Aku beruntung pada akhirnya kami bisa saling memahami. Karena banyak kawan-kawanku yang akhirnya mundur dari organisasi karena persoalan di internal keluarganya yang gagal mencapai pemahaman bersama. 

Editor: Nonon Cemplon

Artikel Terkait