“Eh denger-denger si Aini ngambil PHK ya?”
“Iya. Waktu hari rabu dia menghadap HRD, eh sebelum mengambil PHK-an, dia habis dicariin si Mamih tau? Enggak bayar-bayar utang.”
“Masa sih? Emang dia punya utang ke si Mamih? Berapa utang dia?”
“Lima juta kalau enggak salah. Belum yang kecil-kecil dari uang tabungan paket lebaran”
“Waduh, gila utangnya banyak amat sih. Setau gue dia utang ke Bank Mandiri juga, utang ke SB X juga , ke yang muterin duit di line 10, sama ada utang ke rentenir yang di gang buntu.”
“Gila. Apa enggak stres dia harus bayar utang kayak gitu?”
Ruangan tiga kali tiga meter itu semakin terasa panas. Walaupun, kipas angin tepat berada di atas kepalaku. Suara sendok garpu beradu dengan mangkok yang berisi bakso. Kuah bakso berwarna pekat perpaduan kecap dan saus.
Suara percakapan ramai terdengar dari lima orang perempuan setengah baya. Sementara, dua orang perempuan muda lainya mungkin berusia di bawah tiga puluh tahun. Tiga diantaranya berkemeja biru muda dan berjilbab. Dari kedua perempuan tersebut, salah satunya menarik perhatian mata saya. Si perempuan merias alisnya seperti kartun shincan, berwarna coklat, dan eyelash model cute doll.
Jakarta, hari Jumat, ketika jam makan siang tiba. Waktu istirahat satu setengah jam. Buruh-buruh pabrik PT X yang memproduksi baju jersey merk internasional berhamburan keluar pabrik mencari tempat makan. Mereka biasanya mencari tukang bakso sebagai pilihan menu santapan makan siang. Hari itu tanggal tiga belas, baru dua hari gajian.
Orang-orang memadati kedai bakso yang memiliki bangunan tidak seberapa luas. Hari itu ramai dan panas. Panasnya udara ruangan semakin terasa. Kala obrolan lima orang emak-emak dimulai. Walaupun, jumlah mereka hanya berlima, tetapi suara percakapan yang dihasilkan bak kelompok paduan suara.
Aini adalah buruh di pabrik X. Ia telah bekerja sekitar 12 tahun. Sejak akhir tahun 2022, pabrik tempatnya bekerja menerapkan kebijakan No Work No Pay bergilir selama lima sampai sepuluh hari. Alasannya, akibat perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada resesi ekonomi global dan menyebabkan brand mengurangi order-nya.
Pabrik tersebut mempekerjakan hampir 10 ribu buruh. Sebanyak 90 persennya adalah perempuan. Pabrik juga berencana memecat tenaga kerja sekitar 2.000 orang buruh lainnya. Sama dalilnya. Karena brand mengurangi order sebesar 40 persen, sehingga ada kelebihan tenaga kerja.
Kebijakan PHK dan No Work No Pay yang dilakukan hampir serentak di akhir tahun 2022. Bak kado pahit akhir tahun bagi buruh PT X dan juga buruh lainnya di beberapa pabrik, terutama sektor Garmen, Tekstil, dan Sepatu (GTS).
Padahal, dampak dari pandemik COVID-19 selama dua tahun masih menyelesaikan persoalan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sampai dengan bulan Februari 2021, ada sekitar 500 ribuan buruh yang ter-PHK. Angka pencatatan tersebut mungkin lebih besar jumlahnya, karena banyak pabrik yang tidak melakukan Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLKP) ketika melakukan PHK. Selain validitas angka pelaporan korban PHK, yang tak kalah pentingnya adalah tentang pemenuhan hak-hak normatif buruh. Khususnya, tentang pesangon dan kompensasi. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemerintah bisa memastikan, bahwa jutaan buruh yang di-PHK, karena dampak pandemik COVID-19, telah mendapatkan haknya sesuai dengan aturan ketenagakerjaan? Tentu, hal ini menjadi pertanyaan penting bersama.
Selain PHK sepihak, kebijakan No Work No Pay menjadi semakin populer di saat pandemik COVID-19. Banyak perusahaan mengeluarkan kebijakan No Work No Pay, walaupun bukan sektor-sektor yang terdampak langsung.
Belum usai dengan kebijakan PHK sepihak dan No Work No Pay, kini dalih krisis global akibat perang Rusia dan Ukraina dijadikan alasan untuk melakukan ancaman pemecatan. Sekitar bulan Oktober 2022, koalisi asosiasi pengusaha garmen asal negara Korea Selatan dan Indonesia, mengirimkan surat untuk mendesak Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan kebijakan tentang fleksibilitas jam kerja untuk sektor padat karya berorientasi ekspor. Argumen permohonan yang digunakan berdasar pada menurunnya order produksi dari pemegang merek internasional.
Tak lama berselang surat tersebut beredar di jagat maya, beberapa manajemen pabrik-pabrik sektor GTS di wilayah seperti Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serempak mengeluarkan kebijakan pemutusan hubungan kerja massal atau No Work No Pay. Kebijakan ini sama sekali tidak menguntungkan bagi buruh. Sebagai contoh, di salah satu perusahaan yang memproduksi alas kaki (sepatu) di kota Tangerang, pasca perusahaan mengeluarkan kebijakan No Work No Pay selama lima hari, maka buruh kehilangan upah sebesar Rp700 ribu. Nilai tersebut bukan jumlah yang kecil bagi seorang buruh.
***
Memasuki awal tahun. Setelah Gubernur di daerah menetapkan besaran prosentase kenaikan upah, di tingkat pabrik buruh memulai bergerak untuk perundingan upah. Begitupun di pabrik tempat Aini bekerja.
“Kalian tahu krisis global tidak bisa dihindarkan. Perang Rusia dan Ukraina yang belum juga usai berdampak sama kita. Brand mengurangi order-nya. Kondisi perusahaan sedang tidak baik. Bulan ini order baru 400 ribu. Itu artinya kita kelebihan manpower. Perusahaan mau tidak mau mengambil kebijakan yang sebetulnya berat bagi kami juga,” uraian panjang tersebut disampaikan oleh manajer HRD, ketika pimpinan Serikat Buruh (SB) di tempat Aini bekerja melakukan perundingan bipartit kenaikan upah.
Melalui penyampaian manajer HRD, sekitar 2.000 buruh rencananya akan dipecat. Pemecatan dilakukan secara bertahap dalam tiga gelombang. Kompensasi yang diberikan sesuai aturan yang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 dengan besar uang pesangon hanya satu kali ketentuan. Juga, tanpa disertai uang penggantian hak sebesar 15 persen.
Dalam proses pemecatan menggunakan dua cara. Pertama, perusahaan melakukan penawaran kepada buruh yang ingin mengundurkan diri. Kedua, apabila target pemecatan diperkirakan belum terpenuhi, maka pihak perusahaan akan memilih memecat buruh dengan kriteria tingkat absensi atau kinerjanya buruk.
***
Aini, perempuan berkulit putih, usianya sekitar 40 tahun. Dia sudah 25 tahun meninggalkan kota kelahirannya di Lampung. Suaminya meninggal awal tahun 2021 lantaran menderita penyakit diabetes sejak tiga tahun terakhir. Sang mendiang meninggalkan Aini bersama tiga anak yang semuanya masih menempuh tingkat sekolah. Anak pertama Aini adalah seorang perempuan yang menempati posisi kelas dua SMA. Anak kedua dan ketiga seorang laki-laki. Masing-masing bersekolah di tingkat SMP kelas satu dan kelas lima SD.
Sebetulnya, tidak terbesit pikiran Aini untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Apalagi dengan beban tanggungan hidup membesarkan tiga anak yang masih butuh biaya. Baginya bekerja dengan rajin adalah kewajiban. Namun, sejak sang suami meninggal segala kebutuhan hidup dan antrean tagihan hutang menjadi tanggung jawab Aini.
Aini teringat masa lalu, kala mendiang suami masih hidup. Sobirin, nama suami Ani, bekerja sebagai pengemudi ojek daring. Pilihan tersebut ditempuh pasca dia dipecat dari tempatnya bekerja di sebuah pabrik keramik. Bagi Aini, meskipun Sobirin tidak berpenghasilan tetap sosoknya adalah seorang yang bertanggung jawab kepada keluarga. Sebagian besar pendapatannya dia berikan untuk memenuhi biaya makan sehari-hari dan juga jajan anak-anak. Sementara, gaji Aini habis untuk membayar hutang.
Hutang Ani cukup banyak. Ada cicilan ke bank sebesar Rp1,4 juta dengan masa angsuran lima bulan. Waktu itu, Ani berhutang untuk memperbaiki dapur rumahnya. Selain hutang bank, Aini juga berhutang kepada seseorang bernama Mamih. Di tempat Aini bekerja, sosok Mami dikenal sebagai koordinator arisan paket lebaran. Dengan Mami, Aini dan buruh lainnya biasa meminjam uang. Batas maksimal pembayaran H-10 sebelum lebaran. Besaran hutangnya Rp5 juta. Sementara, Aini sudah dua bulan menunggak. Padahal, setiap bulan Aini harus mengangsur sebesar Rp500 ribu. Keputusan berhutang kepada Mamih disebabkan karena salah seorang anaknya harus mengikuti kegiatan study tour di sekolah.
Di luar dua hutang sebelumnya, Aini masih memiliki hutang lainnya yang harus dibayar kepada rentenir. Besar hutangnya yaitu Rp10 juta. Aini berhutang untuk mendaftarkan anak keduanya di sekolah swasta. Sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak diimbangi dengan tersedianya sekolah-sekolah negeri di beberapa wilayah. Terlebih lokasi rumah milik Aini berada di pinggiran kota T, yang belum tersedia sekolah negeri. Sehingga, walaupun anak Aini mempunyai nilai bagus, dia tetap harus bersekolah di sekolah pengelolaan swasta.
Selain hutang mendaftarkan anak sekolah, Aini yang merupakan anggota serikat buruh juga memiliki cicilan hutang kepada organisasinya. Setiap bulan cicilan yang harus dibayar sebesar Rp1,3 juta. Sejak setahun lalu serikat buruh X mempunyai program menutup hutang anggota kepada rentenir. Cara menalangi hutang merupakan metode serikat buruh tempat Ani bekerja untuk memperbesar jumlah anggota. Caranya adalah buruh yang mau meminjam uang ke SB X harus menjadi anggota terlebih dahulu. Limit utang yang ditawarkan sampai dengan Rp20 juta.
Ani juga memiliki hutang kepada rentenir lainnya. Nominal besarnya mencapai Rp5 juta rupiah dengan cicilan Rp1 juta setiap bulan selama 10 bulan angsuran. Hutang ini dilakukan oleh Aini kala sang suami hidup dan jatuh sakit. Pasca dipecat, otomatis BPJS Kesehatan milik suaminya tidak dapat lagi digunakan. Terpaksa, Ani kemudian memutuskan untuk meminjam uang kepada rentenir.
Seluruh total hutang tersebut, apabila dihitung secara akumulasi, maka setidaknya Aini harus menyiapkan uang hampir Rp4,5 juta setiap bulan. Nominal ini kurang lebih sama dengan nilai UMK di kota tempat Ani bekerja. Setiap bulan kalau tidak lembur Aini hanya membawa uang sekitar Rp200 ribuan. Sementara, apabila Aini lembur ia bisa mengantongi uang sebesar Rp5 juta. Itupun, ia harus bekerja setiap hari selama dua jam lebih lama, karena mengambil jam kerja lembur. Di kala semua keluarga perkotaan Jakarta berlibur, Aini masih harus mengambil lembur di hari sabtu.
Karena itu, sejak suaminya meninggal, hidup Aini bertambah sulit. Setiap bulan Aini hanya tutup lobang gali lobang. Lembur setiap hari dan berjualan apa saja di pabrik. Semua semata-mata agar tetap keluarganya bisa bertahan hidup.
Lama-lama pertahanan Aini roboh. Aini terus-menerus tertekan. Ia tidak tahan menghadapi penagih yang setiap habis gajian berdatangan untuk minta cicilan. Sementara, orang lain setelah gajian bisa jalan-jalan. Sedangkan, Aini hanya bisa menangis karena tidak ada uang yang bisa dibawa pulang. Habis untuk bayar hutang. Maka, ketika perusahaan membuka kesempatan pengunduran diri, diam-diam Aini datang mendaftar diri. Nilai pesangon yang diperoleh berjumlah sekitar Rp 64 juta.
Sehabis mendapatkan pesangon, Aini mengurus pemindahan sekolah anak-anaknya. Diam-diam Aini pulang ke kampung halamannya dengan meninggalkan hutang-hutang yang tidak pernah akan diselesaikan.
Apa yang terjadi pada Aini bukan cerita baru. Cerita seperti Aini sering terjadi. Saya teringat obrolan dengan salah seorang ketua serikat buruh di salah satu pabrik sepatu merk internasional. Dia bercerita dahulu pernah mengadvokasi salah seorang anggotanya yang juga terjerat hutang rentenir dan bank. Jumlah kasus yang ditangani mencapai 12 orang. Menurut obrolan dia dengan pihak bank sewaktu mengurus kasus tersebut, dari 20.000 buruh di tempatnya bekerja, sekitar 10.000 orang berhutang ke bank tempat perusahaannya mengirimkan gaji bulanan.
Melihat fenomena buruh-buruh yang terjerat rentenir, tentu membuat saya membangun pertanyaan “Mereka yang berhutang untuk apa? Apakah gaya hidup berfoya-foya atau untuk keperluan apa?”
Menjadi buruh dengan upah Rp4,5 juta untuk buruh lajang, dengan tidak punya beban membantu orang tua, mungkin lebih dari cukup untuk hidup. Namun, hal itu belum tentu cukup bagi mereka yang sudah mempunyai anak dengan status bersekolah, mengontrak hunian, dan mempunyai cicilan rumah. Upah minimum dengan kriteria tersebut tampaknya hanya mampu sebatas untuk bertahan hidup.
Hasil survei pengeluaran hidup buruh yang pernah saya lakukan selama dua tahun di tahun 2020 adalah sebagai berikut :
Data di atas menunjukan hampir 80 pesen upah buruh selama sebulan habis untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi rumah tangga akan semakin tragis, apabila di dalam rumah tangga buruh, terdapat hanya satu orang saja yang bekerja, maka dipastikan rumah tangga tersebut akan sulit untuk menabung. Sehingga, untuk keperluan pengeluaran konsumsi yang bersifat mendadak: sekolah anak, menikahkan anak, anggota keluarga sakit, atau renovasi rumah, dipastikan dana tersebut tidak tersedia.
Selain dua pertanyaan di atas, salah seseorang kawan juga mengeluarkan pertanyaan tentang jeratan fenomena buruh terjerat hutang: “Selain kebutuhan sehari-hari, apa yang mendorong orang berani berhutang? Apakah karena keyakinan seseorang dengan bekerja di pabrik memperoleh gaji yang besar ?”
Dalam merespon fenomena jeratan hutang keluarga buruh, beberapa orang tidak memulainya dengan pertanyaan. Namun, lebih kepada pernyataan. Beberapa pernyataan tersebut seperti “Mereka terjerat hutang gegara gaya hidupnya sih boros” atau “Kok di pabrik itu apa-apa dihutangi ya? Dari barang perlengkapan rumah tangga sampai makan seharga Rp30 ribu diutangin.”
Padahal, salah satu faktor masalah, karena tidak banyak buruh yang memahami tentang mengelola keuangan. Selama ini, ketika buruh berbicara keuangan, pembahasannya tidak jauh dari persoalan tentang penetapan upah oleh pemerintah. Itu pun dengan metode penghitungan 64 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL), dengan dasar penghitungan buruh lajang. Meskipun dengan kekurangan metode penghitungannya, setidaknya KHL mencerminkan kebutuhan riil buruh. Namun, kini sejak tahun 2021, pemerintah mengeluarkan aturan baru dalam penetapan upah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 (PP No. 36 Tahun 2021) tentang pengupahan. Metode penghitungan upah kemudian berubah. Ia sudah tidak lagi bersandar pada kebutuhan riil buruh. Tetapi, dilimpahkan pada penghitungan mekanisme pasar. Berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Kemudahan Berhutang apakah penolong atau sebaliknya?
Kembali kepada cerita di atas, di salah satu pabrik hampir sebanyak 10.000 buruhnya mempunyai pinjaman ke bank. Bank tersebut bekerja sama dengan manajemen perusahaan. Pembayaran hutang melalui skema pemotongan upah langsung dari rekening tabungan. Selain potongan langsung, syarat peminjaman juga terbilang mudah. Buruh hanya perlu memberikan jaminan Surat Keputusan (SK) pengangkatan karyawan atau kartu BPJS ketenagakerjaan sebagai jaminan kepada pihak bank. Syarat ini sebagai bentuk jaminan agar bisa memperoleh pinjaman hutang. Sementara, batas pinjaman yang ditawarkan dapat lebih dari Rp 50 juta.
Para agen pemasaran dari perbankan juga memberikan banyak kemudahan kepada calon-calon peminjam. Menurut penuturan Eni, salah seorang buruh pabrik sepatu di Kota T mengatakan “Kita janjian sama orang banknya di tukang bakso depan pabrik pas jam istirahat, siapkan materai sama SK tanda tangan, seminggu kemudian cair deh 25 juta.” Syarat mudah pinjaman uang sama dengan cara mudah untuk menjerat mereka yang sedang membutuhkan uang.
Berkembanganya dunia digital keuangan dan lemahnya pengawasan pemerintah membuat pinjaman-pinjaman daring semakin menjamur. Gambar di atas adalah pesan broadcast yang saya peroleh dari salah satu korlap SB X di salah satu pabrik di Tangerang.
Dari poster ikan tersebut terlihat kalimat provokatif yang berbunyi “Tarik gajian lebih awal”. Para rente aplikasi pinjaman online (pinjol) ini menawarkan program tutup utang ke rentenir. Mereka bergerilya dari pabrik ke pabrik. Bagi mereka pabrik adalah pasar yang memiliki potensi besar. Ketika para agen pemasaran pinjol memasuki pabrik. Mereka mengajak serikat-serikat buruh di tingkat pabrik untuk menjalin hubungan bisnis yang menguntungkan. Karena itu, hampir banyak serikat buruh menggunakan program “tutup hutang” untuk menarik minat calon anggota. Melalui cara kerja ini terdapat dua keuntungan yang didapat. Selain, komisi dengan besaran 5 persen dari setiap satu orang peminjam, juga anggota serikat mereka bertambah.
“Banyak mbak temenku yang terjebak sama pinjaman itu, bunganya ada yang sampai 10 persen mana kalau pinjam enggak cair semua. Kayak gini aku pinjam Rp10 juta, cair ke aku cuma Rp8 juta karena buat jaminan cicilan satu bulan sama potongan administrasi. Temanku pada nyesel tau mba,” jelas Sulis di sela-sela istirahat makan siang saat diskusi Gender Based Violence (GBV), di rumah salah seorang buruh di kota T.
Fenomena dan kasus buruh terjerat rentenir hampir terjadi di banyak wilayah dan banyak pabrik. Kasus jeratan hutang keluarga buruh merupakan persoalan yang akan mempengaruhi kinerja buruh yang bersangkutan. Persoalan jeratan rentenir ini bukan hanya persoalan individu buruh, melainkan juga persoalan pengusaha dan pemerintah.
Maka, solusi yang ditawarkan serikat buruh bukan justru menjadi calo atau perpanjangan tangan sistem pinjol. Namun, serikat buruh harus mencari akar persoalan ini lebih dalam. Bukan justru memanfaatkan situasi untuk mendulang keuntungan. Kasus jeratan hutang harus dikaitkan dengan persoalan struktural, yakni kebijakan politik upah murah yang terus menerus dipraktikkan oleh rezim.