Akhir Desember 2023, Komite Hidup Layak yang terdiri dari beberapa organisasi serikat buruh dan organisasi pengojek daring, merilis hasil temuan survei pengeluaran rumah tangga buruh. Survei tersebut dilaksanakan selama satu bulan, sejak September – Oktober 2023.
Survei dilakukan di empat sektor industri yaitu: manufaktur, pertambangan, sawit dan ekonomi gig. Dilaksanakan di tiga kota, delapan kabupaten, empat provinsi: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengan. Dalam laporan hasil survei disebutkan bahwa pengeluaran setiap bulan untuk:
- Biaya penitipan anak balita sebesar Rp 873.350
- Biaya pembelian susu balita sebesar Rp 459.150
- Biaya pembelian pampers sebesar Rp 163.635
- Biaya pembelian vitamin sebesar Rp 146.666
- Total pengeluaran untuk balita sebesar Rp 1.642.801
Jumlah Rp 1.642.801 merupakan angka yang tinggi, di tengah kenaikan upah tahun 2024, dengan rata-rata besaran tidak kurang dari empat persen.
Pertengahan Januari 2024, saya bertemu dengan beberapa kawan buruh perempuan. Mereka bekerja di salah satu pabrik yang berlokasi di kawasan industri daerah Banten.
Kawasan industri tersebut cukup luas. Berdasarkan data yang saya baca terdapat sekitar 66 perusahaan dan 19 ribuan buruh. Di sekitar kawasan industri, para pedagang kaki lima memanfaatkan wilayah tersebut untuk kegiatan berdagang. Mulai dari menjual makanan hingga menjajakan pakaian. Mereka berjejer di sepanjang jalan kawasan industri.
“Teh, jadi ya … ketemu hari Jumat, jam istirahat, di warung depan parkir gedung A,” tulisan pesan whatsapp, dari salah seorang kawan yang saya terima, Kamis pagi sekitar jam 07.20 WIB.
Jumat siang, sekitar pukul 11.05 WIB, dengan bedak yang sudah luntur dan pakaian yang lepek oleh keringat, saya tiba di warung tempat kami janjian.
Di bawah atap seng, warung berukuran tiga kali tiga itu sepi. Terdengar samar-samar alunan lagu dangdut berjudul “Juragan Empang”, dari spiker yang terpasang di atas pintu masuk warung.
Terdapat tiga meja beserta bangku kayu panjang di sisi depan, mungkin muat untuk ukuran lima orang. Sedangkan, dua meja di antaranya memepet ke arah dinding. Pada sisi belakangnya terdapat dua meja berhadapan; semacam dipan. Saya duduk dibangku paling depan menghadap ke arah jalan raya.
Di depan saya berdiri segelas es teh dengan air sisa tinggal separo. Meja dialasi taplak yang terbuat dari bahan polivinil klorida (PVC), berwarna merah. Di atas meja terdapat dua toples plastik berisi kerupuk kulit, dibungkus plastik kecil: kerupuk Palembang dan beberapa cemilan lainnya.
Sudah dua puluh menit saya habiskan dengan bermain media sosial X. Lalu berpindah ke Instagram. Bosan dengan berbagai iklan yang muncul di beranda, saya beralih ke Facebook dan Tiktok. Hampir lima menit saya habiskan hanya untuk berselancar di Tiktok. Sesekali saya membalas pesan masuk dari Whatsapp.
Sekitar pukul 11.30 WIB, terdengar bunyi bel dari arah pabrik, penanda buruh pabrik memasuki jam istirahat. Tidak sampai lima menit, jalanan depan warung yang semula sepi, mulai ramai dengan lalu-lalang sepeda motor. Kerumunan orang-orang berhamburan keluar dari pabrik mencari makan siang.
Begitu juga di warung tempat saya menunggu, dua orang laki-laki berseragam biru muda mengambil tempat duduk, tepat di belakang bangku saya.
Satu per satu orang berdatangan, yang tadinya warung sepi, akhirnya ramai dengan permintaan pembeli.
“Teh kopi yah … Mar, es teh manis … Teh Indomie pake telur … Teh ….” Terdengar suara para pembeli bersahut-sahutan. Para pembeli meminta untuk dilayani. Ibu warung itu mendadak kelimpungan, maklum saja ia hanya ditemani dua orang anak muda: laki-laki dan perempuan muda. Masing-masing berusia sekitar 20 tahunan.
Sekitar 10 menit berlalu, saya masih setia duduk di tempat semula. Sembari memperhatikan lalu-lalang orang, tetiba dari arah belakang seseorang berkata,
“Teh maaf yah telat … tadi ke parkiran dulu, mengambil kunci motor, tadi pagi ketinggalan,” ucapnya Anisa menjelaskan alasan keterlambatannya, sembari kedua tangannya bertangkup di atas dada.
“Santai aja, aku juga belum lama kok,” balasku menghilangkankan rasa tidak enak Anisa yang tergambar dari raut wajahnya.
“Eh kenalin nih kawan-kawan anggota serikat,” ujar Anisa sambil menunjuk keempat orang yang datang bersamanya.
Seseorang yang ia kenalkan bernama Putri, perempuan muda berusia sekitar di bawah 25 tahun. Giginya gingsul, manis senyumnya. Selain itu ada Meti, Indah, dan Sri, ketiganya perempuan-perempuan muda, mungkin usianya di bawah 35 tahun.
“Di sini panas kita pindah ngobrolnya ke sekretariat aja yuk? kami sudah ijin kok,” usul Anisa. Seketika itu juga tawaran Anisa langsung saya terima.
Tidak sampai lima menit, sepeda motor yang saya tumpangi memasuki perumahan. Dari gapura perumahan, tiga gang kami lewati, rumah kelima dari gang adalah sekretariat tempat organisasi Anisa dan kawan-kawan bernaung.
Rumah tipe dua puluh satu itu tanpa pagar. Sementara, di depan rumah berkibar bendera organisasi berukuran 100 X 150, yang dipasang menempel pada tiang bendera di depan rumah.
“Selamat datang di sekre kami. Begini keadaannya tempat kami, seadanya ya Teh,” ujar Putri sambil mempersilahkan masuk.
Ruang tamu tampak menjadi pusat aktivitas rumah ini. Dibiarkan los tanpa kursi agar luas. Mungkin juga untuk bisa menampung banyak orang.
Dinding sebelah kiri terpasang papan tulis putih yang penuh dengan tulisan. Sementara, sisinya tertempel aneka poster dan bendera organisasi. Di pintu kamar yang tertutup, juga terlihat poster Che Guevara terpampang dengan ukuran besar.
“Gimana kabar kenaikan upah di pabrik, berapa kenaikannya?” tanyaku ketika kami sudah duduk manis.
“Belum tahu nih belum ada kabar yang pasti, dengar-dengar perusahaan mau mengajak bipartit soal Struktur Skala Upah. Cuma kami belum ada pendiskusian,” jawab Anisa sambil membuka kardus minuman mineral.
Aneka cemilan terhidang di depanku: gorengan, rujak buah, kerupuk palembang yang terbungkus dengan plastik sebanyak lima bungkus, dan satu piring buah salak. Semua itu tersedia begitu saja, tanpa aku tahu kapan mereka membelinya.
“Aduh … malah upah belum naik, si Ibu yang momong anakku malah minta naik Rp 50.000, Rp 900.000 sebulan. Bulan depan aku sudah harus membayar gaji untuk pengasuh. Belum lagi uang mingguannya, aku harus kasih Rp 30.000. Biasanya kalau lembur kukasih tambahan. Kenapa naik upah malah bikin pusing yah?” curhatan Indah, ibu beranak dua berusia sepuluh tahun dan dua tahun.
Setiap pagi Indah mengantarkan anaknya yang berusia dua tahun ke tempat pengasuhan, sementara anak pertamanya sudah cukup besar, sehingga ia hanya ditinggal di rumah.
“Kalau naik upah hanya segitu, gimana mau nambahin kiriman uang ke kampung buat biaya anakku? Aku tiap bulan aja aku harus mengirim Rp 1.000.000. Pengennya sih nambah kiriman,” timpal Sri yang anaknya tinggal bersama orang tuanya di kampung.
“Mba Sri gimana perasaannya jauh dari anak ?” tanyaku iseng
“Sedih pastinya Teh. Sekarang anakku udah gede malah pusing. Anakku hanya mau telpon kalau ada maunya: ‘Bu isiin pulsa dong, Bu beliin HP, Bu tambahan uang jajan’. Sementara, Mbakku baru ngabarin kalau anakku kerjaannya hanya main game di HP mulu. Aku sudah bilangin dia, tapi tetap aja, susah. Kayaknya nanti jika sudah SMA, aku mau tarik ke sini aja deh, walaupun kontrakanku sempit, tapi bisa merhatiin sehari-harinya,” jelas Mbak Sri ketika aku tanya bagaimana rasanya berjauhan dengan anak.
“Jangankan Mbak Sri yang anaknya di kampung, aku saja yang tinggal bersama anakku di sini, setiap jam kangen, hahaha,” Timpal Meti seraya tertawa.
“Anaknya sama siapa Mbak Met?” tanyaku.
“Kalau sekarang ada mertua Teh, aku baru cuti melahirkan, baru masuk dua minggu ini,” jawabnya.
“Oh … gitu selamat yah, anak keberapa?” lanjutku.
“Anak pertama Teh, makanya pengennya cepet-cepet pulang aja hehehe,” lanjutnya.
“Cuma lagi galau juga Teh, mau tetap kerja atau resign. Udah ngobrol-ngobrol sama suami cuma belum berani mutusin nih,” balas Mbak Met.
Tetiba Meti bercerita persoalan yang dihadapi setelah melahirkan. Ia berencana menggunakan pengasuh, ketika cuti melahirkannya habis. Namun, ibu mertuanya tidak setuju, karena cucu pertama diurus oleh orang lain. Mertua Meti meminta agar Meti dan si bayi di bawa pulang ke kampung, sehingga ibu mertua bisa bantu mengawasi buah hatinya.
Di satu sisi, Meti dan suaminya tidak mau hidup terpisah, namun mereka juga menghadapi persoalan ekonomi apabila mencari pengasuh untuk anaknya.
“Di tempatku kalau anak bayi agak mahal [bayar pengasuh], kalau untuk anak balita ada yang Rp 800.000, tapi kalau untuk anak bayi bisa sejutaan. Sedangkan, sumber utama penghasilannya dari aku Teh. Suamiku, walaupun sarjana hukum, sudah lulus PKPA tahun lalu, tetap saja sulit mendapat klien,” keluh Meti.
PKPA kepanjangan dari Pendidikan Khusus Profesi Advokat, merupakan program pelatihan profesional khusus bagi sarjana hukum yang ingin menjadi pengacara.
“Sambil menunggu panggilan dari kantor hukum, saat ini suamiku jadi pengojek daring, lumayan buat makan sehari-hari, uang sebesar Rp 50.000 mah dapet,” cerita Meti menjelaskan kegiatan suaminya.
Buat makan sehari-hari Meti mengandalkan dari penghasilan suaminya, sedangkan upah Meti digunakan untuk membayar kontrakan, cicilan motor, dan utang “uang susu”. Utang yang masih tersisa sejak satu tahun lalu.
Meti adalah perempuan dari suku tertentu, yang ketika menikah dalam adat istiadatnya, ada yang namanya “uang susu”. Uang itu diberikan oleh keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin wanita, sebagai bentuk terima kasih kepada keluarganya.
Walaupun, suami Meti bukan dari suku yang sama, tetapi keluarga Meti yang masih taat dengan adat istiadat, meminta suami Meti untuk membayar “uang susu” yang telah disepakati. Saat itu jumlahnya sebesar Rp 20.000.000. Pasalnya orang tua Meti tidak pernah tahu, bahwa uang sebesar itu diperoleh suaminya dengan cara berutang ke bank.
Selain bayar kontrakan rumah dan cicilan kendaraan, Meti dan suami masih harus mencicil utang ke bank. Keduanya juga menanggung biaya pendidikan adik Meti yang masih bersekolah.
Kondisi itu membuat Meti kesulitan: memutuskan tetap bertahan bersama suami, mereka harus siap dengan mengeluarkan uang lebih besar. Keluarga kecil ini harus membayar pengasuh dan membeli susu formula. Mau tidak mau anggaran itu harus tersedia.
“Di tempat kalian ada ruang laktasi tidak?” tanyaku.
“Ada Teh, cuma kawan-kawan jarang menggunakannya, soalnya males, dan ribet harus minta ijin ketika bertepatan dengan jam kerja, terutama yang bagian sewing aduh … riweuh [pusing],” jelas Anisa.
“Paling ketika jam istirahat … itu juga ketika hari Jumat, karena jam istirahatnya lebih lama. Kalau hari biasa, jam istirahat hanya satu jam, keburu-keburu. Makan dan ke toilet saja sudah pasti antre. Belum lagi ditambah sholat, waktu sudah habis satu jam,” lanjutnya.
“Ih … kalau aku gak mau ah … beberapa kali kejadian ada buruh yang ASI-nya hilang,” timpal Meti.
“Hilang gimana maksudnya nih, ada yang nyolong?” tanyaku heran.
“Iya kali … saat itu udah pumping susunya, lalu disimpan di lemari es kan … pergilah aku kembali kerja, eh pas pulang mau diambil udah ngak ada ….” papar Meti.
“Iya di-line-ku ada beberapa juga tuh yang hilang ASI-nya,” sahut Indah.
Dari obrolan dengan Anisa dan kawan-kawan siang itu terlintas dalam pikiran saya,
“Kok yah persoalan yang dihadapi buruh perempuan ini kayak makanan Wafer Tango; berlapis-lapis. Edan pisan.”
Dari persoalan budaya patriarki yang sampai hari ini masih terus mengakar, persoalan ekonomi, pelecehan dan kekerasan seksual yang bisa terjadi dari rumah, tempat kerja, tempat ibadah, ruang publik, persoalan tanggung jawab sebagai ibu bekerja terhadap anak, persoalan ekonomi sampai persoalan ASI hilang di tempat kerja. Semua itu adalah masalah sehari-hari buruh.
***
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, bahwa jumlah buruh perempuan tahun 2022 mencapai 52,74 juta atau 38,98 persen dari jumlah pekerja di Indonesia. Namun, jumlah sebesar itu tidak membuat pemerintah memberikan pelindungan terhadap hak-hak maternitas dan reproduksi untuk kesejahteraan buruh perempuan.
Perubahan dari UU No 13/2003 menjadi UU No 6/2023, atau biasa dikenal dengan Omnibus Law, ternyata tidak mengubah pasal-pasal yang mengatur hak-hak buruh perempuan. Malahan, jam lembur bertambah menjadi empat jam sehari.
Melalui UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, kenaikan upah buruh tidak lebih dari 10 persen. Kenaikan upah rendah, hak dasar rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan lainnya juga tidak diperoleh.
Sri, Meti, Indah, dan juga jutaan perempuan lain, mungkin tidak akan pusing ketika harus membagi upahnya untuk membayar pengasuh bayi. Buruh-buruh perempuan ini juga mungkin tidak akan menahan kerinduan kepada buah hatinya, apabila perusahaan tempat bekerjanya menyediakan tempat penitipan anak. Fasilitas tersebut sangat berguna tidak hanya untuk Sri dan Meti, namun juga untuk buruh-buruh perempuan lain. Dengan begitu uang sebesar Rp 800.000 yang setiap bulan mereka keluarkan, mungkin bisa dialokasikan untuk membeli makanan bergizi, vitamin, dan kebutuhan lain yang lebih berguna.
Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA), telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 15/2015 mengenai Penyediaan Sarana Kerja yang Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja. Namun, sayangnya tidak ada tindakan konkrit maupun sanksi yang tegas, khususnya kepada perusahaan-perusahaan yang tidak menjalankan aturan ini.
Menurut London Journal of Primary Care, seorang ibu penting membangun ikatan kuat dengan anak, ketika usia dua tahun pertama. Tahap ini sangatlah krusial. Terutama untuk memantau perkembangan, dan juga kesehatan mental anak di masa yang akan datang. Maka dari itu, penting bagi orang tua untuk bisa hadir sepenuhnya dalam dua tahun pertama masa perkembangan anak mereka. Sehingga, menjadi pentingnya penyediaan fasilitas daycare di tempat kerja atau setiap wilayah kecamatan.
Daycare menjadi pilihan yang ekonomis daripada menitipkan anak kepada pengasuh, di samping itu anak mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak
Tahun 2045 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Guna mencapai Indonesia Emas di tahun tersebut, kiranya perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul sejak awal. Anak-anak yang saat ini lahir dari ibu-ibu yang menjadi buruh, adalah bagian dari bonus demografi itu.
Kamis 30 Juni 2022, dalam rapat Paripurna ke-26, masa persidangan ke-V tahun 2021-2022, sembilan fraksi DPR sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU inisiatif DPR. RUU KIA merupakan program legislasi nasional tahun 2020-2024.
Dalam naskah akademik RUU KIA, terdapat beberapa poin-poin penting yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang ini, sebagai berikut:
- Sesuai UUD 1945 Ayat 28A menyatakan negara menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) untuk hidup dan mempertahankan hidup serta kehidupannya. Dalam hal ini termasuk kelangsungan hidup ibu dan anak juga memiliki Hak Asasi Manusia yang sama sebagai warga negara dalam pembangunan nasional;
- Selanjutnya, bentuk dari mempertahankan hidup dan kehidupan seperti termaktub dalam Pasal 28H Ayat 1 menyatakan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
- Pasal 28B Ayat 2 UUD 1945 menyatakan secara khusus, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ketiga pasal tersebut memberi gambaran adanya kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan warganya, sebagaimana yang tercantum dalam salah satu tujuan negara pada alinea keempat naskah akademik RUU KIA, Pusat Perencanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI (Pusat PUU BK DPR RI), bagian kedua pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum.
Membaca Naskah Akademik RUU KIA (NA RUU KIA), disebutkan bahwa “Anak adalah generasi penerus yang akan memberikan corak dan warna pada kehidupan bangsa di masa mendatang. Karenanya, kualitas bangsa akan sangat bergantung dan ditentukan oleh kualitas anak pada masa sekarang. Untuk dapat mewujudkan anak yang berkualitas tersebut maka anak perlu dijaga, dibina, dan ditingkatkan kualitas hidupnya, sehingga dapat tumbuh dan berkembang optimal sesuai usianya. Agar menjadi generasi berkualitas yang memiliki potensi membangun bangsa.”
RUU KIA terdiri dari 44 pasal dan 9 bab. Terdapat beberapa catatan dalam aturan ini:
Pertama, tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang dimaksud tercantum dalam Pasal 1 yaitu “Kondisi yang menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak dalam keluarga”.
Kedua dalam Pasal 3 tertulis, salah satu tujuannya yaitu meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak jadi lebih jelas untuk mencapai kesejahteraan lahir serta batin.
Ketiga, Pasal 4 ayat 2 mengenai cuti melahirkan yang menjadi perdebatan, karena terdapat perubahan dari aturan sebelumnya sebagai berikut:
- Mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan;
- Mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran;
- Mendapatkan kesempatan dan tempat untuk melakukan laktasi (menyusui, menyiapkan, dan/atau menyimpan air susu Ibu perah (ASIP)) selama waktu kerja;
- Mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keempat, Pasal 5 ayat 1 dan 2 juga menyebutkan:
- Setiap ibu yang melaksanakan cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya;
- Ibu pekerja yang cuti melahirkan juga tetap mendapatkan gaji secara penuh atau 100% untuk 3 bulan pertama dan 75% untuk 3 bulan berikutnya;
Kelima, selain cuti melahirkan untuk buruh perempuan, RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan untuk ayah, aturan ini ditetapkan dalam Pasal 6 sebagai berikut:
- Untuk menjamin pemenuhan hak ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1, yaitu mendapatkan pendampingan saat melahirkan atau keguguran dari suami dan/atau keluarga, maka suami wajib mendampingi;
- Suami berhak mendapatkan cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 hari atau keguguran paling lama 7 hari;
- Selain mengatur tentang cuti melahirkan, RUU KIA juga mengatur mengenai berbagai fasilitas sarana dan prasarana yang harus disediakan. Daycare, ruang laktasi, ruang bermain adalah sebagian dari fasilitas yang harus disediakan.
Keenam, di dalam Pasal 22 RUU KIA menyebutkan, fasilitas yang harus disediakan adalah seperti penyediaan ruang laktasi, penyediaan ruang perawatan anak, tempat penitipan anak, tempat bermain anak, dan tempat duduk prioritas atau loket khusus.
Ketujuh, catatan juga dapat dilihat pada isi Pasal 22:
- Ayat 1, penyedia atau pengelola fasilitas, sarana, dan prasarana umum harus memberikan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak.
- Ayat 2, pemberian kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- Dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat kerja;
- Dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat umum; dan
- Dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di alat transportasi umum
- Ayat 3, dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
- Penyediaan ruang laktasi;
- Penyediaan ruang perawatan Anak;
- Tempat penitipan Anak;
- Tempat bermain Anak; dan/atau
- Tempat duduk prioritas atau loket khusus.
- Dukungan fasilitas, sarana dan prasarana di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada Ibu yang bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.
Membaca keseluruhan isi dari Pasal 22 Ayat 2 RUU KIA di atas, maka jelas bahwa pengusaha harus memberi kemudahan bagi ibu yang bekerja, salah satunya adalah dengan penyediaan fasilitas berupa daycare. Namun, pada Ayat 4 tertulis, bahwa hal tersebut dikembalikan lagi sesuai dengan kondisi-kondisi tugas, jam kerja dan/atau tempat kerja.
Setelah membaca dan mempelajari beberapa pasal dari RUU KIA terutama Pasal 22 ini, maka pertanyaan selanjutnya yang bisa diajukan adalah apakah buruh-buruh perempuan seperti Mita, Sri, dan jutaan buruh perempuan yang memiliki anak, membutuhkan daycare?
Jika, jawabannya adalah “Iya”, maka tuntutan penyediaan fasilitas daycare di tempat kerja atau di ruang publik, bisa menjadi agenda perjuangan bersama.