Konde.co, media yang berkomitmen pada perempuan dan kelompok minoritas, meluncurkan risetnya yang berjudul Derita Pekerja: Praktik Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja pada 23 Februari 2023. Riset yang turut didukung Voice ini dilakukan dalam rentang September-Oktober 2022.
Pengumpulan datanya dilakukan dengan menyebar kuesioner survei dan menyelenggarakan diskusi terfokus daring bersama responden pekerja dari Jabodetabek dan Serang. Hasilnya, riset ini menemukan bahwa kekerasan yang merentang dari fisik, seksual, hingga ekonomi tidak hanya terjadi tempat kerja, melainkan di ruang-ruang yang selama ini dianggap bukan ranah pekerjaan.
Sebagai konteks, riset ini menempatkan kekerasan dalam fenomena pasar kerja fleksibel. Fleksibilitas bukan hanya soal perekrutan, namun juga menyangkut ruang dan waktu kerja yang secara langsung membuat kekerasan di dalamnya jadi ikut fleksibel.
Ruang kekerasan yang meluas itu membuat Konvensi ILO (KILO) 190 dan Rekomendasi 206 menggunakan istilah “dunia kerja” alih-alih hanya “tempat kerja” seperti yang masih dipakai oleh Pemerintah Indonesia; Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 3 tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Sementara itu, dunia kerja dalam KILO 190 didefinisikan luas, merentang dari ruang perekrutan, aktivitas komuter pekerja, hingga rumah.
REKRUTMEN
Kokom Komalawati, Ketua Departemen Perempuan dan Anak Gabungan Serikat Buruh Indonesia, memaparkan bahwa sejak melamar kerja, kekerasan sudah terjadi. Praktik uang panai untuk mendapat pekerjaan di pabrik –yang nominalnya bisa sampai delapan juta rupiah– sudah menjadi norma umum, setidaknya di kawasan industri di Tangerang. Ini adalah kekerasan struktural yang membuat orang yang lebih miskin akan semakin miskin karena tidak bisa menebus biaya calo.
Selain itu, kekerasan seksual juga turut mewarnai ruang rekrutmen. Kokom bercerita, keharusan untuk muda dan cantik sudah jadi norma umum sebagai kunci kesuksesan bagi calon perempuan pekerja pabrik. Seleksi yang diskriminatif kepada perempuan ini turut diungkapkan oleh Sumiyati, Ketua Bidang Perempuan dan Anak Federasi Serikat Pekerja Nasional.
“Laki-laki diprioritaskan dalam wawancara. Kami [perempuan] mesti menunggu berjam-jam dan yang tidak berpenampilan menarik langsung dibuang bahkan disobek map lamarannya,” ungkapnya.
Diskriminasi dalam rekrutmen kerja juga dirasakan oleh kelompok LGBTIQ+. Seorang bernama J (nama inisial) pernah ditanya perihal orientasi seksualnya saat wawancara kerja. Perlakuan itu, selain tidak relevan, juga membuat J tidak nyaman. Serupa dengannya, IG juga pernah mendapati perusahaannya yang transfobik dengan membuat lowongan kerja yang mensyaratkan orientasi seks normal.
“Itu bercanda,” tuturnya meniru respon pimpinannya atas keberatan yang dilayangkan IG. Narasi ini pun sejalan dengan temuan Tim Riset Konde.co, bahwa enam dari sepuluh atau 60 persen responden pekerja LGBTIQ+ pernah mengalami kekerasan di dunia kerja.
Ruang rekrutmen yang tidak adil pun menimpa kelompok difabel. Berdasarkan data BPS 2022, 17 juta masyarakat difabel masuk usia produktif. Namun, hanya kurang dari setengahnya yang bekerja. Padahal, pemerintah sudah mengamanatkan kuota satu persen difabel di sektor swasta dan dua persen di sektor pemerintah.
“Kami sering dianggap beban; tidak bisa bekerja. Padahal, kami hanya butuh perlakuan yang berbeda saja,” ujar Karina, pekerja penyintas autoimun.
Oleh karena itu, Konde memberi tajuk “Basa-basi Kuota Satu Persen” dalam judul bab tentang kerentanan kaum pekerja difabel. Pahitnya lagi, kuotanya sering tidak terpenuhi, kelompok difabel yang sudah bekerja banyak yang didiskriminasi. Temuan Tim Riset Konde.co memperlihatkannya: 5 dari 9 (55%) responden pekerja difabel pernah mengalami kekerasan di ruang kerja.
TEMPAT KERJA
Kekerasan kerja ini berlanjut ketika dalam hubungan kerja dan bukan hanya terjadi di tempat-tempat kerja konvensional. Seseorang bernama AV, freelancer, menceritakan derita pekerja lepas yang dikarenakan fleksibilitasnya mampu bekerja kapan pun dan di mana pun. Imbasnya, ruang dan waktu kerja jadi tidak jelas; bisa di kamar masing-masing dari pagi hingga pagi.
Fleksibilitas kerja kembali memakan korban dan kali ini AY, ojek online (ojol), korbannya. Dia pernah mengalami kekerasan seksual oleh penumpangnya. Regulasi yang ada belum mengatur tentang tempat kerja yang dinamis seperti ini.
“Saya bingung mesti melapor ke mana,” dan kemudian AY tidak melapor ke mana-mana. Parahnya, regulasi yang ada bukan hanya tidak mengadopsi istilah inklusif “dunia kerja”, namun juga belum mengatur tentang perlindungan hak-hak pekerja informal seperti AV dan AY.
Begitu juga yang dialami oleh pembantu rumah tangga. Rina (bukan nama asli) misalnya, pernah dipaksa untuk memijat bagian intim majikan lelakinya di kamar yang dikunci. Besoknya, dia dipecat oleh majikan perempuannya. Lebih ironis lagi, majikan laki-laki Rina yang mesum tadi adalah seorang anggota DPR; institusi yang belasan tahun menolak pengesahan UU PRT.
Rumah sebagai situs kekerasan pekerja bukan hanya dialami oleh pembantu rumah tangga. Kokom menganggap KDRT tidak bisa dilepaskan dari konteks ketenagakerjaan. Kondisi yang tidak layak di tempat kerja akan membuat pekerja membawa pulang serta melampiaskan stresnya di rumah.
Ruang lingkup dunia kerja lainnya yang sering dilupakan ketika bicara tentang kekerasan adalah perjalanan menuju tempat kerja. Sutinah, pembantu rumah tangga, pernah dilecehkan di kereta dalam perjalanan menuju rumah majikannya. Syukur, saat itu dia berhasil melawan.
Fleksibilitas kerja yang menghasilkan fleksibilitas kekerasan membuat produk hukum yang ada menjadi usang. Maka, klaim pemerintah dan asosiasi pengusaha bahwa peraturan eksisting mulai dari Undang-Undang, Surat Edaran Menteri hingga kode etik perusahaan sudah layak dalam melindungi pekerja, menjadi mentah.
Oleh karena itu, Konde.co dalam risetnya ini menyimpulkan serta merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera meratifikasi KILO 190 demi perlindungan hak pekerja di dunia kerja yang fleksibel ini.