Search
Close this search box.

Buruh Mengadu ke Komnas Ham dan Komnas Perempuan, Terkait Pelanggaran Hak di Pabrik Pemasok Pakaian H&M, PT Sai Apparel Grobogan

Mala Ainun Rohma Ketua SP SPSRING
Bagian kiri paling pojok adalah Mala Ainun Rohma, Ketua SP SPRING menyerahkan dokumen hasil investigasi pelanggaran hak-hak perburuhan kepada Fuad Bahrul (sisi tengah) dan Tiasri Wiandani (pojok kanan). Keduanya merupakan Komisioner Komnas Perempuan (19/12/2023).

Jakarta, 20 Desember 2023, Serikat Pekerja Sai Apparel Industries (SP SPRING) bersama Tim Advokasi Lingkar Perempuan melakukan audiensi dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan melaporkan pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa 19 Desember 2023. 

Melalui kedua lembaga tersebut, SP SPRING mengadukan kasus pemecatan sepihak 11 orang pengurus dan anggota aktif SP SPRING, termasuk pelanggaran hak-hak perburuhan lainnya yang terjadi di PT Sai Apparel Industries Grobogan sejak pabrik beroperasi.

Perwakilan SP SPRING melaporkan sejumlah pelanggaran hak-hak perburuhan seperti kasus pelanggaran: Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG); hak-hak maternitas dan kesehatan reproduksi; pungutan liar karcis parkir; jam molor dan upah lembur yang tidak dibayar; serta pemberangusan serikat (union busting) yang dilakukan oleh manajemen PT Sai Apparel Industries Grobogan kepada para pengurus dan anggota SP SPRING. 

“Buruh perempuan di PT Sai Apparel setiap hari mengalami bentakan dan intimidasi ketika bekerja,” jelas Ketua SP SPRING Mala Ainun.

PT Sai Apparel Industries Grobogan adalah pabrik perluasan dari PT Sai Apparel Industries Semarang dan merupakan salah satu pabrik yang membuat pakaian pesanan dari retailer H&M dan AEO.

Selama proses audiensi, Komnas Perempuan memberikan perhatian penting pada kasus pelanggaran tindak pidana terkait Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender yang terjadi di PT Sai Apparel Industries Grobogan. Mereka berkomitmen untuk memberikan rekomendasi kepada Dinas Pengawasan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah agar pelanggaran KPBG tidak menjadi ranah perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) .

“Karena mandat komnas perempuan spesifik soal kekerasan berbasis gender, maka kasus-kasus tersebut akan kami taruh sebagai prioritas. Kemudian pelanggaran normatif yang masuk ke ranah pidana sebagai temuan kasus lainnya, agar menjadi dorongan untuk dinas pengawasan. Hal itu untuk memastikan, bahwa penyelesaian kekerasan berbasis gender tidak bisa diselesaikan hanya dengan berproses di PHI. Tapi, peran dan fungsi pengawasan ini semestinya bekerja agar pelanggaran-pelanggaran ini mendapatkan sanksi sesuai dengan ranah kepengawasan,” ujar Tiasri Wiandani, selaku Ketua Tim Perempuan Pekerja, Komnas Perempuan.

Senada dengan Tiasri Wiandani, Barul Fuad yang merupakan salah satu Komisioner Komnas Perempuan juga mempertegas kembali tentang tindak pidana kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi.

“Misalkan, soal kasus pelecehan seksual telah ada buktinya dan ada beberapa teman yang juga mengalaminya, itu sudah jelas dari Komnas Perempuan, bahwa ini adalah pelanggaran tindak pidana. Dan hal tersebut tidak bisa dikompensasi dengan apapun.”

Tiasri Wiandani juga menambahkan mengenai konteks dalam prinsip penyelesaian tindak pidana. Ia mencontohkan pada kasus upah lembur. Menurutnya, meskipun pembayaran upah lembur dianggap selesai. Namun, bukan berarti proses pemberian sanksi pidana telah selesai.

“Dan di dalam prinsip hukum pidana, penyelesai di luar ranah pidana dengan cara apapun itu tidak menggugurkan proses pidanannya. Sehingga, Komnas Perempuan akan meminta Dinas Pengawasan Ketenagakerjaan untuk menjalankan fungsinya, agar pelanggaran yang sudah masuk dalam kategori pidana tetap didorong,” imbuhnya.

Selain menekankan fungsi dan peran dari Dinas pengawasan ketenagakerjaan provinsi Jawa Tengah, Komnas Perempuan juga berkomitmen untuk memberikan surat penyikapan kepada lembaga-lembaga kementerian terkait, seperti Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Perindustrian, dan Kementrian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Melalui kementerian tersebut, Komnas Perempuan meminta agar fungsi pemeriksaan dan pengawasan dapat dilakukan kepada seluruh korporasi berbasis modal investasi asing yang ada di Indonesia. 

Di hari yang sama dengan perbedaan waktu, SP SPRING bersama tim advokasi juga melakukan pelaporan pengaduan tentang pelanggaran hak-hak perburuhan kepada Komnas HAM. Pelaporan pengaduan ini dilakukan melalui Sentra Pelayanan Informasi Pengaduan (SeLIP). 

“Komnas HAM akan menangani kasus yang berkaitan dengan kepentingan seluruh gender. Dalam hal ini adalah union busting. Sementara, untuk kasus KPBG akan diserahkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) atau lembaga yang fokus menangani isu tersebut,” ujar petugas unit penerima pelaporan Komnas HAM.

Komnas HAM juga akan mengirimkan surat penyikapan kepada lembaga-lembaga Kementrian Republik Indonesia yang berkaitan dengan proses penanganan pelanggaran pidana perburuhan yang terjadi di PT Sai Apparel Industries Grobogan. Selain itu, Komnas HAM juga telah menjadwalkan pengaduan SP SPRING untuk dilakukan proses audiensi pada minggu awal Januari tahun 2024 mendatang. 

Sebelumnya, upaya audiensi dan pengaduan kepada Komnas Perempuan dan Komnas HAM ditempuh, usai SP SPRING bersama tim advokasi menyelenggarakan diskusi publik dan bedah buku yang bertajuk “Penaklukan dan Perlawanan” di YLBHI Jakarta, Senin 18 Desember 2023. Melalui audiensi dan pelaporan, SP SPRING berharap kasus pelanggaran norma ketenagakerjaan yang terjadi segera dituntaskan.

Tindakan pelaporan kepada Komnas HAM dan Perempuan merupakan buntut dari hasil pemeriksaan Dinas Pengawasan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah yang dinilai belum maksimal. Hal ini berkaca pada hasil rangkuman pemeriksaan pengawasan ketenagakerjaan yang diperoleh oleh pengurus SP SPRING, pada 5 Desember 2023.

Pihak manajemen pabrik memberikan jawaban sebanyak lima butir dari pemeriksaan pelanggaran norma perburuhan yang dilakukan oleh dinas pengawasan ketenagakerjaan provinsi Jawa Tengah. Salah satu butir tanggapan berkaitan dengan status kerja kontrak. Pihak manajemen pabrik PT Sai Apparel Industries Grobogan mengakui, bahwa pemberlakuan status kerja kontrak dan berulang merupakan pelanggaran norma perundangan-undangan perburuhan. 

“Bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang terjadi di PT. SAI Apparel Industries Kabupaten Grobogan saat ini belum sesuai ketentuan peraturan perundangan terutama berikatan dengan jenis pekerjaannya…Perusahaan akan berusaha memenuhi ketentuan tersebut apabila dalam operasional produksi telah benar-benar mendapatkan tenaga kerja yang kompeten di bidang garmen dan dapat menekan tingginya pekerja yang keluar masuk,” ujar manajemen pabrik dalam surat rangkuman hasil pemeriksaan. 

Pengakuan manajemen PT Sai Apparel Industries Grobogan merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 pasal 81 angka 15 tentang penggunaan status kerja PKWT pada jenis pekerjaan produksi inti.

“Dengan semakin banyaknya investasi ke daerah, semestinya fungsi pengawas ketenagakerjaan semakin diperkuat. Bukan membiarkan perampasan hak buruh,” jelas Koordinator Tim Advokasi Lingkar Perempuan Kokom Komalawati.

Ironisnya, meski mengakui telah melanggaran ketentuan hukum, manajemen pabrik PT Sai Apparel Industries Grobogan tidak segera melakukan perbaikan. Justru, manajemen berkilah kepada pengawasan ketenagakerjaan karena buruh yang bekerja belum berkompeten. Hal ini justru bertentangan terhadap Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 tentang asas penghidupan layak dan prinsip kepastian hukum.

Tanggapan manajemen pabrik yang terkesan menyepelekan mengenai pelanggaran status kerja ini bukanlah satu-satunya. Hal yang sama juga terjadi pada respons manajemen terhadap praktik Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender yang dialami oleh 16 buruh selama kerja. 

“Berkaitan komunikasi antara Tenaga Kerja Asing yang kadang terjadi akan ada evaluasi dan introspeksi,” ucap perusahaan. 

Padahal praktik KPBG merupakan kasus pelanggaran tindak pidana. Namun, bagi pihak manajemen perusahaan tindakan kekerasan dan pelecehan yang terjadi seolah sebatas persoalan komunikasi. 

Tim advokasi menduga, bahwa tindakan KPBG yang terjadi selama proses kerja dilakukan oleh manajemen secara sistematis dan sengaja. Pasalnya, praktik KPBG melekat di dalam sistem kerja untuk mengejar target produksi. Dengan begitu, besar kemungkinan kasus kekerasan dan pelecehan juga terjadi dalam jumlah korban yang lebih banyak.

Narahubung:

  1. Mala Ainun Rohma (Ketua SP SPRING | 088233806083)
  2. Kokom Komalawati (Perwakilan Tim Advokasi Lingkar Perempuan | 08128870192)

Artikel Terkait