Search
Close this search box.

Bekerja sambil Mengasuh Anak: Nihilnya Pelayanan Publik dari Negara

hikkyo-ikan-uD7ZRjhgwLo-unsplash
Photo by hikkyo ikan on Unsplash

Ketika memutuskan menikah dan punya anak, saya dan calon suami membicarakan kemungkinan saya akan tetap bekerja setelah kelak punya anak. Kami membicarakan apa saja yang diperlukan, jika hal itu benar-benar terjadi. Misalnya, moda transportasi apa yang dipakai? Apakah kami akan punya pengasuh karena anggota keluarga kami tidak ada yang rumahnya berdekatan? Kapan kami akan mulai memasukkan anak ke daycare? Dan sebagainya.

Setahun setelah menikah, kami memutuskan saat ini adalah waktu yang tepat untuk punya anak. Tabungan kami sudah cukup untuk membeli moda transportasi yang dapat membantu mengarungi perjalanan pulang-pergi ke kantor yang jaraknya 60 kilometer. Tiga bulan usai cuti melahirkan, saya kembali ke kantor dengan membawa serta bayi berusia tiga bulan karena saya tidak memiliki pengasuh.

Saya beruntung bekerja di NGO HAM yang tidak melarang saya membawa bayi. Bayi saya  bisa tidur tenang di-stroller ketika saya sedang rapat dan menikmati digendong oleh ibunya saat saya perlu mengetik. Gerakan yang dapat ia lakukan baru berguling dan merengek ketika meminta ASI. Ia bisa tidur kapan saja sesuai dengan jadwal rutinnya. Rasanya, membawa anak bukan hal yang sulit saat anak berusia tiga bulan.

Kini, anak saya berusia 15 bulan. Ia sudah bisa mengoceh, berjalan, berlari, dan sudah punya keinginan melakukan sesuatu. Ia tidak betah berada di dalam ruangan terus menerus. Saya mulai kerepotan. Saya merasa, hal yang bisa saya kerjakan makin terbatas. Jika sebelum punya anak saya merupakan orang yang tepat waktu dalam hal deadline, kini saya membutuhkan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaan saya. Dengan suami yang juga bekerja dengan jam kerja yang panjang, rasanya sulit bagi saya meminta bantuan suami untuk ikut mengasuh anak kami di tempat kerja.

Diskriminasi ke Ibu dan Bayinya: Pengalaman Maternitas Pekerja NGO saat Melakukan Kerja Advokasi Kebijakan

Sebagai orang yang bekerja di NGO, tentu saya melakukan beberapa kerja advokasi kebijakan yang mengharuskan saya mendatangi kantor pemerintahan. Tetapi, beberapa kantor pemerintahan dan legislatif rupanya tidak ramah anak. Misalnya, saat anak saya berusia 4 bulan dan masih jadi anak yang sangat tenang ketika kenyang usai disusui. Saat itu, kami dilarang masuk ruang DPR untuk Rapat Dengar Pendapat Umum sebuah RUU yang saya sendiri in charge dalam proses advokasinya. Ketika ada undangan rapat dengan pemerintahan, saya terpaksa tidak bisa mengikutinya karena penyelenggara takut bayi saya akan mengganggu rapat. 

Harus diakui bahwa membawa anak ke tempat kerja memang bukan hal yang lumrah. Tetapi, situasi itu terjadi karena pemerintah juga tidak memiliki kebijakan yang berpihak pada orang tua, khususnya ibu pekerja. Praktis, saya hanya bisa membawa serta anak saya saat kegiatan bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas perempuan, dan secara informal dengan beberapa kegiatan di DPR.

Daycare Mahal tak Berpihak ke Pekerja

Sejak hamil, saya sempat berburu daycare di sekitar tempat saya bekerja. Rupanya, biaya daycare untuk anak usia enam bulan sampai dua tahun rata-rata setara dengan UMP DKI Jakarta. Tidak terjangkau bagi saya yang bekerja di sektor non-profit. Jika memutuskan untuk merekrut pengasuh bayi yang menjaga anak di rumah ketika saya dan suami bekerja di kantor, praktis penghasilan yang saya hasilkan hanya dapat memberikan uang bulanan di bawah standar. 

Sebagai orang yang tergabung dalam serikat pekerja dan bekerja di sektor HAM, berat bagi saya untuk menjadi orang yang membayar orang yang akan mengasuh anak kami di bawah standar sekalipun angka tersebut merupakan biaya standar bagi banyak pengasuh. Mengasuh anak sungguh tugas berat dan butuh jiwa yang bahagia untuk dapat membesarkan anak dengan optimal. Tidak mungkin seorang pengasuh akan jadi jiwa yang bahagia di sekitar anak jika ia tidak mendapatkan upah layak.

Negara, Tempat Kerja dan Komitmennya terhadap Penyediaan DayCare: Kiat Meningkatkan kenyamanan Perempuan, Mengurangi tingkat Resign Ibu Pekerja

Pengambil kebijakan memaksa kita memikirkan sendiri solusi saat para ibu pekerja memutuskan untuk kembali bekerja. Mereka tidak membuat sebuah sistem agar angka resign para ibu bekerja jadi lebih rendah atau agar ibu pekerja dapat bekerja dengan nyaman tanpa overthinking soal anaknya. 

Beberapa kantor kementerian seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki daycare yang peruntukan utamanya adalah untuk karyawan mereka. 

Saya sempat bertanya kepada stakeholder LPSK, kenapa di gedung mereka yang kecil itu, mereka tetap memiliki ruang untuk daycare. Pihak LPSK menjawab, “pernah ada kejadian anak salah satu pegawai kami diminumi obat tidur sama pengasuhnya, jadi sejak itu kami harus buat daycare di kantor agar orangtua nyaman bekerja.” 

Ternyata peristiwa yang dialami oleh satu orang karyawan bisa mempengaruhi kebijakan di dalam sebuah instansi jika stakeholder-nya memiliki empati dan keberpihakan para pekerja. Kejadian tersebut tidak dianggap sebagai peristiwa domestik biasa dan meminta si pekerja memikirkan sendiri solusi dari masalahnya. 

Transportasi Publik yang Tidak Ramah Anak, Memaksa kami Membeli Mobil

Saya teringat sebuah video TikTok yang viral soal keluarga yang membawa anaknya naik transportasi publik dengan stroller. Keluarga tersebut memperlihatkan sulitnya mengajak anak balita (dan bayi) untuk naik transportasi publik. Fasilitas yang dibangun pemerintah sangat tidak stroller friendly sekalipun di dalam moda transportasi tersebut menyediakan kursi prioritas bagi orang yang membawa anak. 

Saya membaca beberapa komentar yang mengatakan, “salah sendiri bawa anak naik trans Jakarta.” Seolah seharusnya anak bukan termasuk kategori “publik” dalam kosakata “transportasi publik”. Tidak ramahnya akses transportasi publik kita pada anak inilah yang membuat saya dan suami memutuskan menambah kemacetan Jakarta dengan membeli mobil sebagai moda transportasi utama saat hamil dan membawa anak.

Pembuat kebijakan kita adalah orang-orang yang sebagian besar punya anak. Bahkan anak mereka ada yang jadi Anggota Legislatif, Walikota, Bupati, dan jabatan publik lain. Mereka tahu betul bahwa anak yang lahir bisa menjadi pemimpin negeri ini. Sayangnya, empati dan keberpihakan mereka hanya menganak emaskan anak sendiri dan melupakan anak-anak lain yang juga potensial menjadi penggerak negara di masa depan. 

Pemerintah menginginkan penerimaan pajak yang besar. Salah satunya melalui pajak penghasilan. Namun pemerintah tidak berbuat apa-apa melihat fenomena ibu yang bekerja terpaksa resign dari pekerjaannya setelah melahirkan karena tidak mampu merekrut pengasuh dan mengakses daycare di sekitar lokasi kerja karena ketiadaan  biaya. 

Penutup

Sebagai ibu yang bekerja, saya menghadapi situasi yang sulit, repot, dan sangat melelahkan. Saya menyadari bahwa  kecepatan bekerja saya ternyata tidak sama seperti saat belum punya anak dulu. 

Saya juga menyadari bahwa di tengah beban ganda yang saya emban saat ini, terkadang saya ingin membuktikan bahwa saya tetap bisa bekerja seperti biasa. Namun, ada juga waktu-waktu tertentu yang membuat saya seakan memohon untuk  bisa dipahami bahwa saya tidak bisa melakukan beberapa pekerjaan maupun sekaligus, sebab tidak bisa menyelesaikan pekerjaan secepat dulu. 

Pada akhirnya, jika pemerintah gagal membuat jaring pengaman sosial yang cukup, sementara kantor tidak dapat memberikan gaji cukup untuk mengirim anak kita ke daycare, sebagai seorang ibu pekerja, saya berharap untuk satu hal: empati.

Artikel Terkait