Search
Close this search box.

Anakku, Anak Ibuku.

Free vector young mother hugs her baby with love and affection
Free vector young mother hugs her baby with love and affection. Image by syarifahbrit on Freepik

*Tulisan ini aku persembahkan untuk ibu-ibu yang bekerja yang harus menghabiskan waktunya di pabrik, sehingga harus menitipkan anaknya kepada orang lain. Melalui tulisan ini juga aku sampaikan terima kasihku kepada ibuku yang telah membesarkanku dan membesarkan anakku di usia senjanya. Maafkan aku anakku yang masih belum bisa memberikan kebahagian.


“Ibu … ibu … Aku mau ikut Mbah Uti ke Jogja, tapi beliin aku Indomie sekardus ya,” pinta Alfi anakku.

“Iya … iya … nanti ibu beliin ya, tapi, benaran Alfi mau ikut Mbah Uti ke Jogja?” tanyaku kembali kepadanya.

“Iya aku mau,” balasnya singkat.

Percakapan itu masih terngiang di telingaku. Seketika pikiranku dibawa pada kejadian 18 tahun yang lalu. Momen itu terjadi kala anakku dijemput oleh ibuku di Tangerang.

Seminggu sebelumnya, aku dan suami berembuk dan sepakat menitipkan Alfi, anak kami satu-satunya yang saat itu berusia lima tahun, untuk ibuku urus di kampung, kota Geblek, Kulon Progo, Yogyakarta.

Hatiku perih kalau mengingat kejadian itu kembali. Saat itu Alfi berusia lima tahun. Ia akan memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Sesuai pesanku, sesampainya di kampung, ibuku segera mendaftarkan Alfi ke sebuah sekolah TK dekat rumah. 

Miris mengingatnya, saat itu hari pertama Alfi masuk sekolah. Namun, aku tidak bisa bersamanya. Di momen yang berharga itu, aku tidak punya waktu mengantarkannya untuk sekedar pergi sekolah, karena harus bekerja untuk menghidupi keluarga. 

Jauh dari anak, apalagi anak satu-satunya. Tentu juga bukan hal yang bahagia bagiku, karena merasa bebas tidak mengurusi anak. Justru sebaliknya, momen itu adalah hal yang sangat menyakitkan bagiku. Ketika menjadi seorang ibu, tapi tidak bisa mendampingi anakku tumbuh; tidak bisa mendidiknya secara langsung; tidak bisa mengajarkan membaca dan menulis atau sekedar mengantarkan sekolah. 

Sejujurnya, aku ingin sekali menyaksikan dia tumbuh dan berkembang di bawah asuhanku. Karena aku adalah ibunya, yang melahirkannya. Pernah ada suatu kejadian yang membuatku semakin tersiksa. Kala itu aku bertukar kabar melalui telepon dengan Alfi. 

Di tengah-tengah percakapan tiba-tiba dia bilang, “Ibu, di sini Alfi mendengar suara Ibu, tapi nggak lihat orangnya, Alfi rasanya sedih.”

Sontak tanganku mengelus dada dan air mataku menetes. Seketika itu juga rasa bersalahku semakin besar. Kejadian itu membuatku sadar, tidak hanya aku yang merasakan sakit dan sedih. Tapi, Alfi juga merasakan kesedihan yang sama. Sejak kejadian itu aku terus berkomunikasi dengan anakku, walaupun hanya sekedar tanya kabar melalui telepon genggam. 

Bertelepon dan menanyakan kabar Alfi menjadi rutinitas harianku di tengah kesibukan bekerja.

“Assalamualaikum. Apa kabar sayang? Udah maem?” tanyaku.

“Sudah,” balas anakku singkat. 

“Maemnya pakai lauk apa?”

“Sama telor dadar.”

“Tadi di sekolah belajar apa?” tanyaku kembali.

“Belajar menulis dan nyanyi,” jawab anakku.

Dengan menelpon setiap hari aku tahu perkembangan Alfi, seperti halnya ketika dia mulai mengenal huruf alfabet dan angka.

Namun, rutinitas menelepon ini juga membuatku semakin merasa bersalah. Setiap selesai meneleponnya, aku sering mengutuk diriku sendiri. Aku dibayangi perasaan sebagai sosok ibu yang gagal, karena tidak bisa mendidik anakku secara langsung. 

Untuk mengurangi rasa bersalah, aku selalu memberikan dukungan dan berusaha mewujudkan keinginannya. Dan sesekali memberikannya semangat meski lagi-lagi hanya melalui saluran telepon.

“Semangat sekolahnya ya. Nanti ketika Ibu pulang, Alfi minta dibawain apa?” adalah kata-kata yang selalu aku ucapkan setiap menelepon. 

Selain menelepon, aku juga mengusahakan setiap tiga bulan sekali mengambil cuti tahunan untuk pulang kampung. Hal ini aku lakukan agar bisa bertemu Alfi secara langsung. 

Menelepon setiap hari dan pulang kampung tiga bulan sekali adalah rutinitasku untuk menjalankan fungsiku sebagai seorang ibu. Aku tidak menjadikan itu sebagai beban. Sekali lagi, itu adalah caraku untuk bisa menyaksikan Alfi tumbuh. 


Kulon Progo 23 tahun yang lalu

Namaku Miranti, sementara Godep adalah nama panggilan kesayangan yang diberikan oleh ibuku sejak kecil. Kini usiaku 48 tahun. Aku lahir dari keluarga kecil dengan tiga bersaudara. Kaka pertamaku laki-laki dan adikku seorang perempuan. 

Keduanya, tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sementara, aku hanya lulusan SMP.  Orang bilang aku badung. Namun menurutku aku hanya malas belajar. 

Aku lahir di desa Plaosan, Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebuah desa yang berada di lereng gunung Kelud. Desa yang hijau dengan udaranya yang sejuk.

Berjarak sepuluh menit dari rumahku, terdapat waduk besar bernama Sermo. Dahulu waduk itu dibangun oleh presiden kedua Republik Indonesia (RI). Saat pembangunan itu, aku sudah tidak berada di desaku. Desa yang akan menjadi tempat masa tuaku nanti.

Setelah tamat SMP, aku menganggur dan tidak ingat pasti berapa lama tepatnya aku menganggur pada masa itu. Memasuki usianya 18 tahun, aku memutuskan pergi merantau ke kota Tangerang. Aku pergi bersama dengan salah seorang kakak sepupu. Mbak Siti, aku biasa memanggilnya.

Pada 1 April 1993, tepatnya setelah lebaran Idul Fitri, Mbak Siti mengajak untuk bekerja di sebuah perusahaan besar yang memproduksi alas kaki jenama internasional di daerah Tangerang. 

Mbak Siti bilang kepadaku, di perusahaan tersebut sedang banyak lowongan kerja (Loker). 

“God, kamu mau kerja nggak? Di tempat Mbak lagi banyak lowongan tuh,” ujarnya di suatu siang, ketika saat waktu  libur Idul Fitri.

“Aku  mau mbak … aku mau kerja. Tapi, aku belum ada syarat-syarat lamarannya. Besok aku cari syarat-syarat lamaran kerja dulu ya Mbak,” ucapku kepada Mbak Siti kala menawarkanku untuk bekerja.

Setelah menyetujui tawaran Mbak Siti, aku segera meminta izin kepada ibu dan bapak. Alhamdulillah tanpa berbelit, ibuku memberikan izin untuk bekerja bersama Mbak Siti. 

Aku ingat pada saat itu, ibuku menawarkan untuk menjual kalung emas seberat empat gram miliknya. Ia ingin memberiku ongkos selama mencari syarat-syarat kerja dan untuk ongkos pergi ke Tangerang. 

“Nduk … ini Mama ada kalung emas empat gram … sana dijual kalau mau nyari kerja di Jakarta,” ucapnya sambil melepaskan kalung dari lehernya.

Sejujurnya aku sedih dan agak berat meninggalkan ibuku. Kalau bukan karena gunjingan tetangga, aku tidak akan pergi merantau ke Jakarta. 

“Itu … tu … anaknya tetangga sebelah, berhenti sekolah mau jadi apa coba? Kalau tidak cari kerja?” Kalimat-kalimat itu yang sering ibu dan aku dengar dari tetangga sekitar rumah.

Berbekal uang hasil penjualan kalung ibuku. Pada 1 April 1993, aku dan kakak sepupuku berangkat ke daerah Tangerang dengan menggunakan kereta bernama Senja Utama. Saat itu, harga tiketnya  masih Rp 7.000 untuk tujuan Stasiun Pasar Senen. 

Kebetulan hari itu adalah momen arus balik lebaran. Penumpang tujuan Jakarta membludak membuat kami terkendala untuk masuk ke dalam gerbong kereta. Tanpa pikir panjang, kami putuskan memasuki gerbong kereta dengan cara melalui jendela.

Saat itu beberapa orang membantu kami untuk bisa masuk ke dalam. Tampaknya mereka juga seorang perantau. Entah, apa yang ada di benak mereka mau membantu kami masuk ke dalam gerbong kereta. Mungkin mereka hanya kasihan kepada kami saja.  

Pukul 17.00 WIB, kereta berjalan perlahan meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Sesampainya di stasiun Pasar Senen pukul 05.00 WIB dini hari. Lekas kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus patas nomor 25, jurusan Cimone – Pasar Senen. Aku tahu jurusan bus tersebut  karena membaca keterangan di kaca depan mobil. 

Sekitar jam 08.00 WIB, kami tiba di terminal. Selanjutnya, kami berganti transportasi menaiki angkutan kota warna biru muda, tapi aku tidak tahu tujuan mana.

Tidak sampai satu jam, kami pun tiba di satu perumahan. Tempat itu adalah rumah sewa kakak sepupuku selama mengadu nasib di Kota Tangerang. Rumahnya cukup besar dan memiliki bagian teras. Di dalam terdapat tiga kamar tidur, dapur, dan satu kamar mandi. Untuk ukuran sekarang, rumah kakakku bisa dikatakan rumah dengan tipe 36. 

Rupanya rumah itu tidak hanya ditempati kakak sepupuku saja, tapi ada empat belas temannya yang juga tinggal di sana. Setiap kamar tidur berisikan lima orang. Dengan bergabungnya aku, maka ada satu kamar yang diisi enam orang. Di kemudian hari aku tahu kalau itu adalah mes perusahaan yang disewakan kepada buruhnya. 

Kamar berukuran tiga kali empat berisikan lima orang, tentu terasa pengap. Sementara, sebagian orang ada yang memilih tidur di ruang tamu. Mereka tidur hanya dengan beralaskan tikar plastik. Sedangkan, untuk bantalnya, mereka hanya menggunakan tas ransel yang berisikan baju dan perlengkapan pribadinya. Melihat itu, batinku bergetar, sedih rasanya. Namun, itulah perjuangan hidup. Mungkin dalam benak mereka berkata, “Berani merantau harus berani susah.”

Pada tanggal 5 April 1993, adalah hari dimana aku melamar kerja ke perusahaan tersebut. Sebelumnya Mbak Siti berpesan kepadaku, 

“God, nanti kalau ditanya HRD apakah kamu dimintai uang atau tidak? Jawab tidak ya.” 

“Iya Mbak pastinya, kan emang aku nggak ngasih uang sepeserpun,” jawabku.

Singkat cerita, aku lolos ujian wawancara. Tanggal 7 April 1993 adalah hari pertama aku kerja. Aku masuk jam 07.00 WIB dan pulang jam 19.00 WIB. Aku pulang lebih telat karena harus mengikuti lembur selama tiga jam. Pabrik tempat kerjaku menerapkan sistem waktu enam hari kerja. Aku ditempatkan pada bagian produksi assembling atau yang kerap disebut perakitan.

Alat kerjaku adalah tang. Aku menggunakannya sebagai alat bantu untuk menarik bagian upper sepatu agar membentuk seperti kaki. Target kerjaku sebanyak 240 pasang sepatu per jam yang harus diselesaikan. 

Dengan target sebanyak itu, di hari awal pertamaku bekerja, aku belum terbiasa. Tanganku terasa melepuh. Bagian jari tanganku, terutama bagian jempol, membengkak. Perih dan panas. Rasa sakit itu begitu mengganggu. Bahkan, tanganku terasa sakit ketika memegang gayung untuk sekedar mandi. Batinku kembali berucap, “Ternyata hidup di perantauan begitu berat.”

Buruh di tempat kerjaku dibayar seminggu sekali. Pembayarannya dilakukan setiap hari Jumat. Aku ingat gajian pertama yang kudapat sebesar Rp 20.000, termasuk lembur. Gaji sebesar itu, bagiku, sudah besar sekali, karena pada tahun itu tarif angkutan umum dari tempatku tinggal di daerah Jati Uwung sampai ke pabrik hanya Rp 100 perak. Sementara, untuk makan nasi di Warung Tegal (Warteg), aku hanya membutuhkan uang Rp 300 perak. Lauknya adalah nasi, orek tempe, dan bala-bala atau bakwan. Plus air putih satu gelas. 

Tidak terasa aku sudah menghabiskan tiga bulan di kota perantauan. Bersamaan dengan  itu pula, masa percobaan (training) telah selesai. Kini, status kerjaku bukan lagi karyawan masa percobaan, tapi karyawan tetap.

Tiga bulan aku merantau dan selama itu juga aku menumpang di kontrakan Mbak Siti. Selama tinggal di sana, masalah yang aku dan kawan-kawan hadapi adalah seputar urusan mandi. Kamar mandi satu untuk 16 orang. Otomatis kami harus antre ketika hendak menggunakan kamar mandi atau berebut kamar mandi. Drama itu terjadi hampir setiap hari. Apalagi kalau pagi-pagi di hari kerja, tak jarang gara-gara kamar mandi terjadi pertengkaran di antara kami. Dengan pertimbangan itu dan kenyamanan, akhirnya aku dan Mbak Siti sepakat untuk mencari rumah kontrakan baru.

Kami pun pindah. Kontrakan kali ini hanya memiliki satu kamar. Luasnya berukuran tiga kali tujuh meter persegi. Sementara ruang kamar mandinya terpisah. Kamar mandi dibangun dengan material batako yang belum diplester semen dan beratapkan seng. Biaya sewa kontrakan baru sebesar Rp 10.000 per orang. Sehingga, setiap bulan kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp 20.000 per bulan.

Namun, setelah kami menjalani beberapa waktu di kontrakan baru, aku dan kakakku belum juga mendapatkan kenyamanan. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari kontrakan kembali yang lebih bersih. 

Kontrakan baru kami terletak di sebelah kontrakan yang kami tempati sebelumnya, dengan harga sewa Rp 60.000. Fasilitasnya kamar mandi terpisah dengan kamar tidur. Rumah itu memiliki banyak kamar tidur. Untuk toiletnya ada sebanyak empat pintu dan jumlah kamar kontrakan sebanyak 38 pintu.


Mengenal Milano dan Jatuh Cinta

Tidak terasa hampir empat tahun aku bekerja di kota yang dikenal dengan nama ‘Kota Seribu Industri’. Pada tahun 1997 aku bertemu seorang laki-laki. Aku memanggilnya Milano. Kami berpacaran lebih dari 10 bulan. Usianya tiga tahun lebih tua dari aku. 

Libur lebaran di tahun yang sama. Aku mengajak Milano ikut ke rumahku. Saat itu, kami sampai di kampung halamanku dini hari. Lantaran, kampung Milano berjarak jauh dari desaku, maka tidak memungkinkan dia untuk pulang. Dengan persetujuan orang tuaku, akhirnya Milano bermalam. Esok harinya aku mengenalkan Milano dengan orang tuaku. 

Siang harinya, kami mendatangi rumah Milano. Sejak diperjalanan aku sudah gugup karena mau bertemu dengan orang tuanya. Dan ketika sampai rumahnya, kedua orang tua Milano bersiap siaga menanyakan latar belakang keluargaku. Cara orang tua Milao bertanya mirip seperti polisi menginterogasi maling ayam. “Orangtuamu kerja apa? Kamu berapa bersaudara? Kamu anak nomor berapa?” Semua pertanyaan ditanyakan hingga tandas. 

Aku menjawab seperlunya dan secukupnya. Saat itu aku mengingat jawabannya, “Aku dilahirkan dari keluarga kecil dengan ekonomi keluarga menengah ke bawah.”

Esok harinya aku diantar pulang oleh Milano. Namun, dia tidak langsung pulang, melainkan kembali menginap di rumahku. Tak lama, Pak RT datang ke rumah dan bertanya, “Mas ini hubungannya apa dengan Mbak Miranti? Teman biasa atau teman apa?”

Karena dicecar dengan pertanyaan, Milano menjelaskan perlahan-lahan. Katanya, Miranti dalam waktu dekat akan dipersunting. Tak cukup informasi itu bagi Pak RT, kini kembali ia bertanya,  “Kapan orang tua Mas Milano kesini?” Milano terlihat  gugup dan spontan menjawab, bulan Agustus orang tuanya akan datang melamar. 

Janji itu akhirnya ditepati oleh Milano. Pada 14 Agustus 1997 orang tua Milano datang ke Yogyakarta untuk melamarku. Hatiku berbunga-bunga dan jantungku berdebar. Aku begitu senang, karena Milano serius denganku. Di hari itu juga ditentukan tanggal pernikahan kami. Setelah melalui perhitungan sesuai adat Jawa, maka tanggal yang cocok untuk melangsungkan akad nikah, jatuh pada hari Jumat 7 September 1997.

Waktu yang mepet kurang dari satu bulan, membuat kami harus berpikir keras menyiapkan pernikahan. Sementara itu, kami tidak memiliki cukup banyak uang. Aku tidak mempunyai tabungan untuk pernikahan. Saat itu, kami hanya mempunyai uang Rp 300.000, itupun hasil penggabungan sisa uangku dan Milano. Kalau ingat hari itu, tampaknya kami gila. 


Kecelakaan, Sulitnya Mencari Pengasuh Anak

Dua tahun pernikahan kemudian, tepatnya tahun 1999, kami dikaruniai seorang putri cantik. Kami memberikan nama untuk bayi itu Alfi. Dia lahir kota RSIA Pancawati, kota Solo. Berat badannya 2,8 kilogram. Panjang tubuh 49 centimeter. 

Sebelum melahirkan, aku mengajukan cuti melahirkan selama tiga bulan. Selama cuti hamil aku berada di Solo, sedangkan Milano berada di Tangerang. Aku melahirkan di Solo dengan pertimbangan biaya persalinan yang murah. Waktu itu belum ada lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sementara, perusahaan tempatku kerja hanya mau menanggung biaya melahirkan sebesar Rp 900,000. 

Pertimbangan kedua adalah karena tidak ada orang yang bisa mendampingi dan merawatku serta bayiku setelah melahirkan. Aku yang belum punya pengalaman merawat bayi, membuat orang tua kami khawatir. Singkat cerita, bayiku akhirnya lahir.

Tak terasa waktu terus berlalu. Usia Alfi sudah 36 hari dan aku pun harus kembali bekerja. Ada kegundahan di hatiku untuk meninggalkan Alfi. 

“Bu, Alfi aku bawa aja ya … ke Tangerang?” pintaku. “Jangan dulu, pamali Nduk, Anakmu itu belum 40 hari. Di sana juga siapa yang mengurus kalau kamu kerja? jawab ibuku.  

“Tapi aku nggak tega ninggalin Alfi di sini Bu. Aku mau menyusuni Alfi sampai dua bulan.” Kembali aku merajuk kepadanya. 

“Kamu memang sudah ada pengasuh mau bawa Alfi ke sana? Nggak mudah Nduk cari pengasuh,” pungkas ibuku. 

Betul juga yang disampaikan ibuku, dengan berat hati, bertepatan dengan kampanye Pemilihan Presiden di tahun 1999, aku bersama Ambar yang adalah adik iparku dan Ancis yang merupakan tetangga rumah yang ingin ikut kerja denganku, kami semua berangkat ke Tangerang. Kami pergi dengan menggunakan bus Ramayana jurusan Bitung-Tangerang. 

Hari itu kami meninggalkan rumah dengan perasaan berat. Aku duduk di bangku tiga, pada bagian baris tengah, tapi naasnya setelah tujuh jam perjalanan, tepatnya pukul 20.00 WIB, bus yang kami tumpangi mengalami kecelakaan di Ambarawa Jawa Tengah. 

Bus mengalami ‘rem blong’ dan menabrak bus lawan arah. Aku tidak ingat bagaimana ditel terjadinya kecelakaan itu, karena kami semua sedang tertidur. 

Aku terbangun karena mendengar jeritan dan benturan keras sekali. Setengah sadar, kami dievakuasi ke pinggir jalan. Saat itu aku lihat banyak korban yang luka-luka. Namun, alhamdulillah, aku, Ambar dan Ancis, hanya luka ringan; badan kami lembam-lembam dan luka-luka ringan. 

Banyak polisi dan tenaga medis di tempat kecelakaan. Kami yang luka-luka ringan diobati di tempat. Karena mobil rusak parah dan dinyatakan tidak bisa melanjutkan perjalanan, maka aku dan penumpang yang luka-luka ringan, diminta untuk  pulang kembali kerumah, 

Pukul 21.00 WIB, aku, Ambar dan Ancis, beserta penumpang lain, diarahkan untuk menaiki bus Ramayana jurusan Solo.  

Pukul 01.00 WIB kami sampai rumah, tidak peduli tatapan heran ibuku yang kaget karena kami pulang lagi. Aku langsung mendekap Alfi yang sedang tertidur lelap dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku nekad membawa Alfi untuk ikut bersamaku. 

Karena takut dan suamiku khawatir, malam itu juga, aku langsung menghubungi Milano melalui telepon rumah tetangga, Pak Buyung. Melalui saluran telepon, aku mengabarkan kepada suamiku, bahwa aku tidak jadi pulang karena mengalami kecelakaan. 

“Kamu bener nggak apa-apa Ma?” tanya suamiku, dengan suara penuh kekhawatiran ketika aku sampaikan kronologi kecelakaan. 

Empat hari telah berlalu. Lebam dan luka-luka akibat kecelakaan sudah mulai membaik. Usia Alfi telah memasuki 40 hari lewat satu hari. Setelah berembuk dengan Milano dan ibuku, akhirnya aku  memutuskan membawa Alfi ke Tangerang. 

Milano dan ibu mertua, adik ipar, dan Ancis, ikut mengantarkan kami. Mereka berlima  berangkat menaiki bus Rosalia Indah jurusan Jakarta – Kota Tangerang. Ibu mertuaku ikut bersama dengan kami dan mendampingiku selama seminggu. 

Ternyata sulit juga mencari pengasuh. Akhirnya, sementara belum ada pengasuh, maka adik iparku  yang mengasuh Alfi mereka sambil mencoba melamar pekerjaan. 

Di Tangerang, kami mengontrak rumah satu petak berukuran tiga kali enam seharga Rp 80.000 sebulan. Kontrakanku terletak di barisan keempat dari delapan baris kamar kontrakan. Di seberang kamar kontrakanku ada sekitar 10 kamar kontrakan. Sementara, dari empat belas kamar hanya ada tiga kamar mandi yang digunakan bersama-sama. 

Setelah adik iparku mendapat pekerjaan, terpaksa Alfi dititipkan ke Ibu Milano di Yogyakarta sampai dengan usianya 11 bulan. Setelah itu, Alfi, aku bawa kembali ke Tangerang, karena aku sudah mendapatkan pengasuh yang datang pagi lalu pulang sore hari, dengan upah sebesar Rp 60.000 

Keputusan membawa Alfi, saat itu, karena kami kerja berdua. Milano bekerja di pabrik kayu dengan upah Rp 50.000 seminggu dan upahku antara Rp 50.000 – Rp 60.000 seminggu tergantung jam lemburku. Dengan kedua orang bekerja, tentu secara ekonomi kami tidak terlalu kesulitan. 

Namun, di tahun keempat pernikahan, petaka datang. Tetiba Milano dipecat tanpa uang pesangon. Otomatis aku harus pintar-pintar membagi upahku untuk membayar kontrakan sebesar Rp 80.000, biaya menitipkan Alfi sebesar Rp 60,000. Biaya-biaya itu belum termasuk kebutuhan susu untuk Alfi, membayar cicilan motor, dan biaya hidup lainnya. 

Setelah dipecat Milano mencoba mencari pekerjaan, tetapi lowongan kerja untuk laki-laki ternyata sulit. Maka, untuk membantu mengurangi bebanku Milano bekerja serabutan. Terkadang menjadi ojek pengkolan dengan penghasilan yang tidak pasti. Dia memberikan uang sebesar Rp 20.000 sehari, tapi seringkali hanya memberikan uang Rp 3.000. 

Walaupun kesulitan ekonomi, tapi Alfi adalah hiburan yang bisa menghilangkan rasa lelahku. Seperti halnya, ketika aku pulang kerja jam 20.00 WIB, ternyata Alfi belum tidur. Tetiba rasa lelahku sirna. 

Terkadang juga Milano membawa Alfi menjemputku di tempat kerja. Melihat wajah anakku otomatis rasa lelah dan capekku hilang seketika. 

Tetapi dengan bertambahnya usia Alfi, kebutuhan juga bertambah. Memasuki usia lima tahun, aku mulai memikirkan sekolah Alfi. Ada saja biaya untuk kegiatan yang harus dikeluarkan. Jumlahnya sangat banyak dan membutuhkan biaya yang besar. Maka, dapat dipastikan upahku dalam sebulan tidak akan mencukupinya

Dengan pertimbangan masalah ekonomi dan juga melihat lingkungan tempat tinggalku yang kumuh dan rawan. Terlebih, di sekitar rumahku masih banyak tetangga yang setiap malam minggu berkumpul sambil menenggak minuman beralkohol, hal ini semakin membulatkan tekadku untuk menitipkan Alfi ke ibuku di kampung. 

Berat sekali rasanya berpisah dengan Alfi. Dia yang menjadi pelipur laraku. Dia penghilang lelahku, dia yang menjadi penyemangatku untuk bekerja dengan keras.

Rumah kontrakan terasa sepi ketika aku pulang kerja. Biasanya kontrakan kami ramai dengan keloceh dan tangis Alfi, namun saat itu terasa sepi sekali. 

Selama hampir sebulan, setiap malam aku menangis teringat Alfi. Terbayang ketika dia merangkak berusaha meraih benda-benda yang ada didekatnya. Ah, seandainya kami bisa menjadi keluarga utuh; satu keluarga bersama dalam satu rumah. Walaupun secara ekonomi kekurangan, tapi selalu bahagia, karena ada anak yang setiap waktu bisa aku peluk.


Penyesalan Itu Selalu Datang Menggelayut di Kepala 

Waktu terus berjalan tidak terasa Alfi tumbuh semakin besar. Setelah menyelesaikan sekolah TK. Alfi mulai masuk sekolah dasar. Setiap libur kenaikan kelas, aku selalu mengajaknya pergi ke Tangerang, kami menghabiskan waktu untuk berlibur dari mulai makan di restoran hingga mengunjungi tempat-tempat wisata. Pokoknya waktu libur Alfi adalah waktu bagiku untuk menebus waktu yang hilang bersamanya.

Tahun 2000, Alfi menamatkan sekolah dasar. Sebentar lagi dia akan memasuki dunia remaja, masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Aku bersyukur, anakku masuk SMP Negeri Dua Yogyakarta. Lagi-lagi Alfi mampu menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan baik, walaupun tidak menjadi juara umum, namun aku puas dengan nilai yang dia dapatkan.

Tahun 2016 Alfi pun lulus menamatkan jenjang pendidikan hingga tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Aku bahagia. Alfi menyelesaikan sekolah, tapi aku juga sedih karena di acara wisudanya aku tidak bisa mendampingi. 

“Bu, wisuda aku Ibu bisa datang nggak?” tanyanya lewat pesan Whatsapp

“Ibu minta maaf Nduk. Cuti ibu sudah habis, jadi ibu tidak bisa hadir di wisuda Alfi.” Tanpa membalas pesannya, aku langsung melakukan panggilan vidio. Sejujurnya aku sedih sekali mengatakan itu. 

“Oh cuti Ibu sudah habis ya … sudah nggak papa. Nanti sama Mbah Uti saja,” jawabnya. Aku tahu dia kecewa, tetapi dari layar telepon, aku melihat wajahnya mencoba seolah tegar.

Tidak terasa gadis kecilku sudah menjadi remaja  yang mandiri tanpa bimbingan dariku. Aku tidak tahu pergaulan Alfi di kampung. Begitu juga dengan apa yang menjadi hobinya. Aku hanya mengetahui sekitar tahun 2013, dia menunjukkan bakatnya dalam bermusik. Saat itu Alfi minta untuk dibelikan gitar. Permintaannya langsung kuturuti. 

Aku sadar betul, bahwa hal yang bisa kulakukan adalah mendukung kemauannya, semampuku. Pernah sekali, Alfi meminta bapaknya untuk membuatkan not atau kunci nada gitar dengan cara digambar. Alfi juga meminta bapaknya untuk menjelaskan tangga nada itu. Walaupun aku tahu, suamiku mengalami kesulitan, tapi dia tetap menuruti keinginan Alfi. 

“Lagi apa Mas? tanyaku, ketika pulang lembur. Kulihat Milano asik mencoret-coret kertas di depan kipas angin. 

“Lagi buat gambar not kunci nada, pesanan anakmu,” jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari kertas. 

“Oh …” ujarku singkat, sambil meninggalkannya untuk mandi dan sholat Isya. 

Rakaat keempat aku mendengar percakapan Milano, entah sedang berbicara dengan siapa. 

“Telpon siapa Mas?” tanyaku.

“Alfi … dia minta dijelaskan not yang tadi aku gambar,” jawabnya.

“Oalah … serius tuh anak belajar gitar,” ujarku.

“Iya Bu. Alfi mau belajar gitar. Biar kalau nanti Ibu pulang, kita bisa nyanyi-nyanyi ya … Bu,” teriak Alfi melalui sambungan loudspeaker telepon suamiku. 

“Ya sudah belajar yang serius ya … Ibu kangen Alfi,” kataku.

Meski Alfi berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan dengan baik, namun sampai hari ini, aku selalu dihantui perasaan bersalah. Pertanyaan demi pertanyaan selalu muncul di kepalaku, 

“Apakah aku sudah gagal menjadi seorang Ibu bagi Alfi ?”

Kini anakku telah berusia 23 tahun dan telah memasuki usia dewasa. Alfi sudah bekerja di salah satu pabrik garmen. Ketika menerima upah pertamanya, yang dia ingat, hanyalah Mbah Utinya. Ia berkata, 

“Bu, aku kalau gajian mau ajak makan Mbah Uti.” Alfi sangat bersemangat menyampaikan rencananya lewat telepon saat itu. Walaupun, Alfi sudah bekerja, terkadang aku masih mengirim uang buat jajan atau keperluannya.

Kejadian lainnya adalah ketika menjelang lebaran. Lagi-lagi Alfi hanya mengingat Ibuku. Dia juga selalu mengutamakan kebutuhan Mbah Uti, seperti halnya membeli baju lebaran. 

“Mbah Uti sudah beli baju lebaran atau belum?” tanya Alfie kepadaku dalam sebuah percakapan telepon.

Pernah juga suatu ketika aku menawarkan Alfi untuk pindah ke Tangerang bekerja. 

“Al ke Tangerang yuk. Kerja di sana aja,” tawarku kepadanya.

“Nggaklah Bu, kasian Mbah Uti. Tapi, kalau Mbah Uti mau ke Tangerang aku baru mau,” balasnya halus menolak ajakanku

Aku paham ibuku, Mbah Uti, adalah sosok yang selama ini menemaninya sehari-hari. Sosok yang sejak Alfi kecil selalu hadir di sampingnya. Sosok orang dewasa yang mengasuhnya dari hari ke hari.

Mendapat penolakan dari anakku hatiku terasa perih. Tadinya aku berharap Alfi mau menerima tawaranku pindah ke Tangerang agar kami bisa bersama-sama sebagai keluarga. Namun, sebaliknya Alfi tidak mau. Walaupun, kecewa aku tidak memperlihatkan kekecewaanku ketika berkomunikasi dengannya, karena aku sadar dengan posisiku.

Aku tidak kuat rasanya, namun aku hanya bisa menangis dalam hati. Kalau kuingat kembali, telah banyak kesempatan bersama anakku yang terlewatkan. Mulai dari mengantar dia pergi sekolah di hari pertama memasuki bangku sekolah.

Aku juga kehilangan kesempatan mengetahui haid pertamanya; dan juga kehilangan kesempatan mendampingi wisuda SMA-nya. Semua itu adalah kesempatan-kesempatan yang hanya akan dirasakan satu kali seumur hidup bagiku dan untuk Alfi.

Tapi, aku tetap selalu bersyukur. Aku juga masih punya mimpi. Kelak anakku harus punya masa depan cerah. Karena itu aku harus terus bertahan berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga kecil ini.

Kembali lagi, saat ini anakku telah dewasa. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan jodohnya; cepat atau lambat dia akan berumah tangga. Aku hanya bisa berharap dalam lantunan doa-doaku. Kelak anakku jangan sampai mengalami seperti yang kualami.

Anakku harus bisa mengasuh dan mendidik anaknya sendiri. Anakku harus menjadi ibu yang seutuhnya bagi anaknya.

Editor: Syaukani Ichsan

Artikel Terkait