Search
Close this search box.

Aku dan Diskriminasi di Tempat Kerja

Diskriminasi Tempat Kerja
Image by Freepik

Dengan keyakinan yang kuat, aku memulai segala perjuangan dan harapan. Kekalahan dan rasa putus asa yang menghantui menjadi alasan diri ini hengkang dari kehidupan nan biasa, hingga pada akhirnya berlabuh di tempat yang tak awam, sampai-sampai perlu beradaptasi dengan cepat.

Semuanya bermula dari kekalahan yang harus kuhadapi, saat hasil ujianku pada 2018 dinyatakan tak lolos perguruan tinggi negeri. Kenyataan itu membuatku terpukul, sebab lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) merupakan impian dan cita-cita terbesarku.

Akan tetapi, keduanya tinggallah cerita karena perjuangan dan keyakinanku selama mempersiapkan diri ternyata tak cukup mampu menjinakkan peluang dan keberuntungan. Dan kini, aku, si anak sulung dari lima bersaudara, perempuan muda, mencoba melepaskan diri dan memilih berjuang di tanah orang. 

“Kalau memang sudah yakin, bapak harap kamu tidak mengeluh dengan pilihanmu nantinya,” demikianlah pesan bapak yang menjadi dasar dan pegangan hidupku sampai saat ini.

Setelah hati sudah mantap, aku meninggalkan kampung halaman di Sumatera Utara, menuju salah satu kota di Jawa Tengah. Di pulau yang katanya menjadi sentra pergerakan kemerdekaan Indonesia ini, aku mendedikasikan diri dan mulai bekerja di salah satu pabrik.

Kala itu, perusahaan tempatku bekerja baru dua tahun beroperasi dan bergerak di bidang alas kaki. Di masa-masa awal menjadi buruh, sudah barang tentu ada tantangan. Perihal ini, berkelindan dengan budaya dan bahasa di Jawa yang jauh berbeda dengan kampung halamanku.

Namun, tantangan tinggallah tantangan jika kita hanya meratapinya. Jadi, sudah sangat konkret aku wajib menghadapinya dengan belajar! Hal ini perlu kutegaskan, sebab apabila tak belajar, sama saja aku membiarkan perlakuan berbeda yang kerap kualami tatkala belum terbiasa dengan budaya dan bahasa di Jawa terus berlanjut.

Tak bisa diuraikan satu demi satu perlakuan berbeda yang kualami. Namun, di antara perlakuan yang berbeda itu, beberapa bikin hati menjadi dongkol karena ada saja yang mengolok-olok, bahkan sampai mengumpat kepadaku.

Lantaran kala itu belum mengerti bahasa Jawa, tentu aku tak mengerti. Akan tetapi, seiring waktu, aku menyadari kalau di fase ketidakmengertian itu, aku menjadi korban diskriminasi.

Pengalaman tersebut hanya sekelumit kisahku. Dan, aku pun tak ingin larut dengan perlakuan tersebut karena harus fokus dengan pegangan hidupku—apa yang sudah dimulai, harus dijalankan dengan tanggung jawab!

Sikap tersebut membawaku pada situasi sulit. Sebagai buruh, aku tak hanya sekali mengerjakan tugas lebih berat daripada pekerja lain, meskipun posisinya sama denganku. Namun, prinsip tetap prinsip. Dan, sekalipun kenyataan itu berat, aku tetap menjalaninya tanpa mengeluh.

“Kamu kuat orangnya. Enggak apa-apa, ya, kamu handle tugas rekanmu yang tidak masuk hari ini,” begitulah pernyataan atasanku ketika memintaku mengerjakan tugas lebih berat, dan tentunya, tanpa upah lebih.

Entah apa yang kulakukan ini benar atau salah. Musababnya, menerima perintah dan melaksanakannya merupakan sikap yang sudah terpatri dalam diriku. Bahkan, sampai-sampai mengerjakannya di luar jam kerja. Semua itu, tak ubahnya seperti kebiasaan yang lumrah.

Rajin, disiplin, dan ketelatenan dalam bekerja, sekali waktu, membuat beberapa pemimpin dari divisi lain kepincut denganku. Di antara mereka ada yang menginginkan tenagaku di divisinya. Namun, semua itu tak pernah terwujud karena atasanku menolaknya. 

“Dia adalah salah satu karyawan yang paling rajin di antara yang lain,” demikian dia berdalih.

Kenyataan tersebut harus kuhadapi, hingga pada satu waktu, atasan memberikan motivasi kepadaku dan menyampaikan bahwa aku memiliki kesempatan untuk naik jabatan. Sudah barang tentu hati ini semringah mendengar kabar itu. Terlebih, rekan-rekan kerjaku juga menyambut baik dengan mendukungku untuk mengisi posisi leader yang kosong.

Alhasil, makin hari aku makin giat bekerja. Tidak, kupastikan, aku tidak mengada-ngada! Memang demikian kenyataannya, bahkan di saat fisikku sedang lemah, aku tetap masuk dan bekerja sebagaimana biasanya. 

Namun, perjuangan itu tak pernah dilihat oleh atasanku. Ya, harus kutegaskan demikian karena di hari saat pengumuman promosi tiba, nama yang tertera bukanlah namaku, melainkan nama orang lain yang belum memiliki pengalaman nan memadai.

Ini tidak adil, batinku. Atasanku telah berbohong, bahkan makin membuat dadaku sesak karena dia mendepakku dari divisi selama satu bulan untuk mengalihkan segala pengetahuan dan kinerjaku yang sudah kupupuk selama setahun terakhir. Di saat-saat itu, aku merasa dicampakkan.

Setelah peristiwa tersebut rekan-rekan kerjaku yang mengetahuinya turut mempertanyakan kenapa bukan aku yang dipromosikan. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan tersebut malah memicu rasa frustasi dan putus asa di dalam diriku.

“Mbak, wes sui neng kene?”

“Oh, baru satu tahun, mas.” 

Hal seperti itulah yang seringku kulakukan supaya orang tak mengira aku bersedih. Cara tersebut pula yang kujadikan pupuk agar niat dan ketekunanku bekerja tetap terjaga. Bagaimanapun, hidup harus tetap berlanjut, dan di divisi anyar, aku turut menumpahkan segala pengetahuanku kepada atasan baru.

Dalam satu waktu yang sudah kulupa persisnya, saat jam makan siang, tiba-tiba aku tak sengaja mendengar percakapan rekan kerja. Sebuah perbincangan yang belakangan bisa bikin hati gundah.

“Eh, Mas Aris leader kita yang baru itu, katanya kemenakan Pak Nopal lho.”

“Serius?”

Kala mendengarkannya, aku mencoba setenang mungkin agar tak dicurigai sedang menguping.

“Iya, guys. Aku sering sekali melihat mereka berangkat kerja bareng pakai mobil Pak Nopal,” ucap salah satu di antara mereka, “Aku juga pernah tanya, awalnya leader kita enggak mengaku, tapi waktu dia keceplosan panggil Pak Nopal ‘Om’, dia enggak bisa mengelak lagi.”

“Wah… enak, ya. Pantas saja baru masuk langsung jadi leader. Padahal, katanya masih muda lho. Dia juga pernah bilang, katanya baru lulus sekolah,” tutur buruh yang lain, menimpali.

Mendengar itu, aku mulanya berpikir positif kalau semuanya hanya kemungkinan dan belum tentu kenyataan. Akan tetapi, aku tetap berusaha mencari tahu kebenarannya.

Dalam prosesnya, salah satu temanku berkata, “Kamu yang sabar, ya. Aku sempat dengar katanya kamu yang mau diajukan, tapi kayaknya pimpinan kita enggak mau karena kamu perempuan.”

Aku hanya diam. Tubuhku mematung, bahkan sekadar tersenyum pun tak sanggup. Namun, di lain hari dan kesempatan, dengan perasaan campur aduk, aku memberanikan diri bertanya kepada atasan.

“Mas, mau tanya boleh enggak?”

Saat itu, atasanku sedang menyunting data yang baru kuberikan, “Iya, ada apa?”

“Mas, kemenakan Pak Nopal?”

Dia awalnya agak ragu, tapi akhirnya menjawab juga, “Iya. Pak Nopal itu adiknya ayah saya, mbak.”

“Oh… berarti saudara kandung, ya, mas,” begitulah akhir percakapan sekelebat mata untuk mencari kebenaran.

Usai mendapati kebenarannya, pikiranku terhadap dunia kerja yang selama ini buta akhirnya mulai terbuka. Aku sangat tidak terima dan muncul rasa penolakan yang cukup kuat dalam batinku. 

Setiap hari, aku hanya melamun dan seiring itu mulai kehilangan fokus dalam bekerja. Semua menjadi kacau. Akibatnya, aku dipanggil untuk menemui manajer yang tak lain adalah pamannya Mas Aris.

“Bagaimana bisa kamu tidak paham mengoperasikan mesin yang sudah menjadi tugasmu selama satu tahun? Bukannya dulu saya sudah bilang, supaya kamu mencatat dan mengingat hal-hal penting semacam itu?”

Aku hanya terdiam dengan pikiranku yang kacau. Hingga pada akhirnya, dia sendiri yang menyudahi sidang terhadap diriku.

“Kamu kalau bisa lebih bagus lagi dan handle semua tugas kamu dengan bagus, saya akan promisikan kamu enam bulan ke depan.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” kataku. Apa yang dia sampaikan seketika membuat pikiranku mulai tenteram.

Keluarlah aku dari ruangannya. Langkah kakiku seakan-akan bersiap memulai hari dengan penuh semangat. Dan hari-hari setelahnya, benar saja, aku kembali bekerja dengan tekad yang sama seperti pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa. 

Hasil pekerjaanku pun selalu mendapat nilai di atas rata-rata daripada buruh yang lain. Aku turut pula berulangkali membantu rekan kerja. Aku melakukan pekerjaan ini tanpa sekalipun memandang perempuan lemah. Sebab itu pula, mengangkat bahan kimia seberat 20 kilogram lebih pun sanggup kulakoni.

Tanpa terasa enam bulan berlalu. Aku sudah mendengar desas-desus adanya promosi jabatan di divisi. 

“Sebelum makan siang, kita rapat lima menit,” seru Mas Aris.

Saat rapat baru akan dimulai, aku melihat sosok baru, lelaki dengan tampang ramah seraya menenteng buku catatan. Dia menggunakan tanda pengenal “Trainer Leader”. Aku mengernyitkan dahi seraya memandang Mas Aris yang berusaha memalingkan wajahnya.

“Perkenalkan, saya Doni. Selama tiga bulan ke depan, saya akan menjalani masa training dan dipercayakan sebagai calon leader teman-teman yang ada di sini,” ujarnya memperkenalkan diri.

Kenyataan ini membuatku mulai sulit mengontrol emosi, lantas mengajukan pertanyaan menohok.

“Apa Mas Doni kemenakan Pak Nopal atau sepupunya Mas Aris?”

Seketika suasana rapat menjadi hening. Dia pun langsung buka suara.

“Bukan, mbak. Saya murni masuk sini atas potensi yang saya miliki. Kebetulan saya adalah lulusan salah satu universitas terbaik di kota ini.”

Aku masih ingat betul dengan janji Pak Nopal. Tak puas dengan jawaban tersebut, aku lantas berinisiatif menagih apa yang pernah dijanjikan sebelumnya kepadaku.

“Pak, izin bertanya. Bukankan bapak pernah menjanjikan saya soal promosi terkait jabatan saya, jika kinerja saya baik? Tolong jelaskan, pak, apa yang menjadi kendala dan masalahnya yang menghambat karir saya. Apakah kinerja saya kurang bagus?”

Aku menanyakan itu dengan mata berkaca-kaca. Pak Nopal yang sedang berdiri di atas line produksi dan menyilangkan tangan sambil melihat proses pembuatan sepatu, hanya merespons dengan biasa dan tanpa rasa bersalah.

“Sebenarnya, saya sudah ajukan promosi mengenai karirmu. Akan tetapi, pimpinan di atas meminta laki-laki. Kamu ‘kan perempuan. Tenagamu kurang kalau harus jadi leader. Nah, kebetulan ada kandidat baru, laki-laki, yang mendaftar dan di divisi kita. Dari universitas ternama pula. Pimpinan sepakat memilih dia.”

Penjelasan Pak Nopal sudah lebih dari cukup untuk mematahkan keinginan dan harapanku. Aku lantas pamit dan langsung bergegas tanpa menunggu responsnya. Semua ini membuat air mataku tak bisa tertahan lagi. Usaha yang kulakukan sia-sia. Aku merasa perjuanganku telah dikhianati, hingga aku memutuskan untuk menyerah bekerja di perusahaan ini.

“Mbak…” tiba-tiba sesosok perempuan menarik tanganku.

“Oh… Iya, mbak. Ada apa?” kataku sambil berusaha menutupi wajah yang sudah basah.

“Ada masalah apa? Coba cerita, mbak. Ada yang marah ke kamu?”

“Enggak ada, mbak. Aku mau ke kamar mandi dulu, ya.” ujarku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.

Keesokan harinya, aku tidak berangkat ke pabrik dan memutuskan untuk resign. Selama di kos, yang kulakukan tak henti-hentinya menangis. Untuk kesekian kali, aku merasa gagal dan perjuanganku tak berarti apa-apa.

Namun, tiba-tiba sekitar pukul 13.45 WIB, nomor tak dikenal masuk ke dalam telepon. Melalui pesan singkat, si pengirim pesan menyampaikan, “Mbak, kalau ada masalah di pekerjaan boleh konsultasi ke kita. Kita dari serikat pekerja.”

Mula-mula aku tidak menghiraukan. Akan tetapi, ketika aku teringat dengan apa yang menjadi prinsip dan tak ingin berhenti memperjuangkan apa yang menjadi harapan dan impianku, pesan itu kubalas. Ada secercah harapan.

“Tapi, aku tidak bergabung dengan serikat.”

“Enggak apa-apa, mbak. Kita tunggu di kantor, ya. Kita bantu.”

Setelah pesan itu, aku langsung berangkat ke kantor serikat pekerja. Orang pertama yang kutemui adalah sesosok perempuan yang di hari sebelumnya menanyakan keadaanku.

Kepadanya, aku menceritakan semua yang pernah kualami selama bekerja. Dia mendengarkan dengan saksama. Sesudah semua kutumpahkan, dia memintaku untuk menyebut salah satu pasal di Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sudah ada di depannya.

“Kenaikan jenjang karir merata tanpa memandang status, usia, dan jenis kelamin. Setiap yang memiliki potensi berhak atas jenjang karir yang lebih tinggi,” demikian kiranya isi salah satu pasal PKB.

“Mbak, ini mau kita proses?”

Tanpa sedikit keraguan, aku mengiakan pertanyaan tersebut. Lantas, kita mulai menyusun strategi untuk menyelesaikan masalah yang kualami. Strategi ini, mula-mula dengan klarifikasi. 

Namun, atasanku menolak. Dia berkelit walaupun pernah menjanjikan promosi kepadaku. Dia turut menyangkal dakwaan diskriminasi gender yang nyata-nyata dilakukannya.

Aku lantas berupaya dengan mengumpulkan bukti-bukti. Bagiku, hal itu bukanlah perkara sulit. Terlebih, beberapa rekan kerjaku yang mendengar dan merasa adanya perlakuan tak sama mulai buka suara. Semuanya mendukungku!

Keadaan seakan-akan kian memihak kepadaku karena apa yang terjadi terhadapku ternyata dialami juga oleh buruh lainnya. Terlebih, penolakan dan penyangkalan adanya diskriminasi gender atasanku terhadap diriku semakin membuat banyak pekerja yang geram. 

Para pekerja sepakat, bersikap kasihan karena fisik perempuan lemah dan menutup peningkatan karir kepada pekerja perempuan merupakan pelanggaran!

Kasus yang aku alami pun berujung pada sidang bipartit. Di tahap kedua dalam meja perundingan, aku dan serikat pekerja resmi memenangkan perselisihan dan mengutarakan harus ada kesetaraan, juga tak boleh ada unsur kekeluargaan dalam pengajuan promosi.

Perusahaan kemudian memberikan sanksi kepada Pak Nopal. Dia resmi mengalami demosi. Namun, belakangan memilih mengundurkan diri karena malu. Terlepas dari sanksi terhadap pelaku, dari kasusku, akhirnya perusahaan membuat kebijakan khusus di divisi tempatku. 

Kebijakan yang kumaksud adalah melakukan tes khusus terhadap potensi pekerja. Setelah kebijakan tersebut diterapkan, hasilnya ada dua pekerja yang dinyatakan lulus tes dan dinyatakan layak sebagai pemimpin divisi.

Setelah proses yang panjang, posisi yang kumimpikan kini sudah kuterima. Tentu aku bangga atas pencapaian ini. Di sisi lain, aku juga tak akan pernah melupakan peran serikat pekerja yang notabene kunci dari keberhasilanku.

Pengalaman tersebut pada akhirnya membuatku bertekad untuk memperjuangkan buruh-buruh lain yang mendapatkan perlakuan diskriminasi. Aku pun memilih untuk bergabung dengan serikat pekerja. 

Di serikat, aku mengembangkan potensi sekaligus memberikan pengalamanku kepada sesama buruh dengan tujuan terciptanya kesejahteraan pekerja, terutama buruh perempuan. Bagiku, perempuan bukan kaum lemah dan tak mampu. Kita, perempuan, wajib berada di posisi yang setara dengan laki-laki. 

“Tetap berjuang dan maju demi keadilan, menyebarkan pengetahuan dan dasar-dasar yang perlu diketahui pekerja adalah misiku saat ini,” batinku.

*Atribusi foto dalam tulisan: Image Cover by Freepik

Artikel Terkait